Rabu, 21 November 2007

BERHATI PELAYAN

person high in SQ is also likely to be a servant leader – someone who is responsible for bringing higher vision and value to others and showing them how to use it, in other words a person who inspire others.
– Danah Zohar dan Ian Marshall

“Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,” demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam Corporate Culture and Performance (1992). Kalimat pendek itu menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat antara kepemimpinan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan/atau diktator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan bahwa ia memiliki hati yang senang melayani.

Kotter dan Heskett tidak mengajarkan hal yang sama sekali baru. Sebab bila kita mempelajari dengan seksama berbagai konsep kepemimpinan yang berkembang dalam 50 tahun terakhir, maka akan kita temukan bahwa konsep kepemimpinan yang melayani pernah digagas secara lebih mendalam oleh almarhum Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika. Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership (1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, “… the great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness”. Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan “servant first” dan bukan “leader first”. Seorang pemimpin biasa menjadi pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, maupun Buddhisme. Tak seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri mereka sebagai “pelayan”, khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, entah sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei atau apa pun.

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia (meminjam uraian Yasraf Amir Piliang di Kompas, 13/12/2001; hlm.4-5) sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau, atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.

Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta terendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “obyek”. Pandangan ini “berhasil’ melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, “barat”, “timur”, dsb).

Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu “mengaudit” kembali “citra diri” (self image) para pemimpin kita. Kita harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai “manusia unggul”, “manusia superior”, manusia yang merasa “can do no wrong”. Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan bertakwa kepada Sang Pemimpin semata.

Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus mempertanggungjawabkan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi.

Pada titik ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci agama-agama, manusia kita pahami sekurang-kurangnya sebagai spiritual-moral being, emotional-social-rational being, dan sekaligus physical being. Dengan pemahaman yang demikian kita dapat bersetuju dengan kajian Spiritual Intelligence-nya Danah Zohar dan Ian Marshall dan para pakar SQ lainnya dalam arti kecerdasan spiritual merupakan fondasi bagi berbagai macam jenis kecerdasan lainnya (kecerdasan emosional/EQ maupun kecerdasan intelektual/IQ). Kita dapat menerima pernyataan bahwa SQ adalah “the ultimate intelligence” , karena ia bertalian dengan conscience, life compass, “the hidden, inner truth of the soul”, “sesuatu” yang seharusnya mengarahkan akal budi dan perilaku manusia lebih dari apa pun.

Sejumlah “Indikator”
Benarkah para pemimpin yang berhati pelayan (the servant leader) telah hilang dari negeri ini? Bagaimana kita “mengukur” hati para pemimpin kita? Ini hal yang amat sulit, seperti kata pepatah “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”. Namun, sekali pun sulit, Greenleaf memberikan beberapa “indikator” untuk disimak. Pertama, apakah mereka (pemimpin) yang melayani konstituen (rakyat) bertumbuh menjadi lebih manusiawi? Kedua, apakah mereka (pemimpin), menjadi lebih sehat, lebih bijak, lebih bebas, lebih otonom, lebih menyerupai diri mereka dengan menjadi pelayan bagi kontituennya (rakyat)? Ketiga, apakah dampaknya bagi masyarakat; apakah masyarakat memperoleh manfaat, atau, paling sedikit, tidak lebih dirugikan? Keempat, apakah para pemimpin kita memenuhi kriteria untuk disebut sebagai “orang beriman” (have faith)?

Dengan meletakkan sejumlah “indikator” itu dalam konteks Indonesia ––sambil mengingat kasus Aceh, Papua, Ambon, Poso, Buloggate II, Tommy Soeharto, implementasi otonomi daerah, peristiwa banjir, dan lainnya–– kita mungkin dapat bertanya: apakah para pemimpin kita nampak lebih manusiawi, lebih menunjukkan tanda-tanda fungsionalnya hati nurani mereka dalam menyikapi masalah-masalah tersebut?; apakah para pemimpin kita lebih jujur menjadi yang terbaik dari diri mereka sendiri?; apakah para pemimpin kita melaksanakan amanat reformasi total, terutama di bidang penegakkan hukum (pemberantasan KKN), bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta lingkungan hidup?; apakah rasa aman dan rasa keadilan bertumbuh ke arah yang lebih baik?; dan apakah cukup alasan untuk mengatakan bahwa para pemimpin kita bukan hanya “beragama” tetapi juga cerdas-bijak secara spiritual?

Terus terang, saya khawatir kritik Prof. M.T. Zen masih relevan hingga kini. Guru Besar ITB ini pernah berkata, “Di Indonesia Departemen Kehutanan merusak hutan, Departemen Pendidikan menghancurkan pendidikan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Perundang-undangan), dan para pengacara yang seharusnya bekerjasama menegakkan hukum, malah justru memperkosa hukum”. Dan kalau benar demikian, apakah menunggu lahirnya para pemimpin yang berhati pelayan seperti menunggu Godot? Sumber : Pembelajar.com

* Andrias Harefa adalah pembelajar sekolah kehidupan. Ia adalah penulis buku-buku best seller dan inisiator website Pembelajar.com dan. Andrias dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

Tidak ada komentar: