Jumat, 01 Februari 2008

Kekerasan Guru Pada Anak

Pagi tadi, dirumahku aku kedatangan tamu. Kebetulan saja hari Sabtu aku nggak ada agenda khusus selain ngecek kesiapan Trayout UN tahap I. Dia sudah saya kenal lama, sehingga secara pribadi saya dekat dengannya. Selain itu kalau dihitung masa tugasnya di jajaran pendidikan beliau termasuk senior.
Entah apa maksud kedatangannya ke rumahku, karena nggak biasanya dia berkunjung. Dia hanya cerita tentang putranya di sekolah.
Anaknya saat ini duduk di kelas II di salah satu SMA di Kab.Kendal. Saat semester I kelas satu nilainya bagus-bagus, hampir-hampir nggak ada nilai 7 nya. Tapi di semester II pada salah satu mata pelajaran nilainya turun drastis, dari 9 menjadi 7. Dia menyadari benar akan prestasi yang barangkali tidak konstan ini. Tetapi sebagai orang tua dalam hatinya bertanya-tanya mengapa hal ini tidak terdeteksi sejak dini oleh guru sehingga sebagai orang tua bisa mengarahkan dan membimbing anaknya belajar lebih keras lagi sehingga nilainya minimal dapat dipertahankan.
Mengapa sebagai orang tua tidak pernah mendapatkan laporan dari guru tentang kondisi anaknya di sekolah? Mengapa sebagai orang tua hanya diberi hasil akhir saja yang ternyata jauh dari harapannya? Dia merasa dengan nilai ini cita-cita anaknya untuk bisa masuk perguruan tinggi melalui jalur PMDK telah pupus.
Ternyata nilai 7 pun bisa memadamkan cita-cita besar anak dan orang tua dan mengkandaskan mimpi besar untuk merajut masa depan yang lebih baik..
Apakah ini termasuk "kekerasan guru pada murid?",...

Minggu, 27 Januari 2008

PakHarto dan Aku (oleh : Sukardi Rinakit)

PAGI itu, 9 Juni 1999. Aku bertanya kepada Pak Harto, ''Seandainya Bapak masih Presiden, apakah saya akan diangkat jadi menteri?'' Pak Harto tersenyum kebapakan, memandang dengan mata berbinar dan menjawab lugas, ''Ya!'' Katanya sambil mengangguk.
Itulah salah satu kenanganku mengiringi kepergian Pak Harto, Minggu siang, 27 Januari 2008, pukul 13.10. Kesan kuat terpancar bahwa tokoh nomor satu Orde Baru itu pada dasarnya adalah sosok yang polos. Mudah percaya pada orang lain. Baru bertemu sekali saja, mungkin merasa cocok sehingga bisa berbicara apa saja, sudah menaruh percaya. Bahkan berani menjamin aku akan diangkat jadi menteri seandainya beliau masih presiden.
Apakah sikap seperti itu adalah karakter alamiah Pak Harto ataukah kepasrahan setelah sepuh dan tidak menjabat lagi? Entahlah. Sebab cerita yang beredar di ranah publik, selama ini, terutama di kalangan orang yang antibeliau adalah sebaliknya. Mereka melihatnya sebagai sosok yang tidak mudah percaya pada seseorang.
Aku cenderung tidak setuju dengan argumen itu. Rasanya lebih tepat jika dikatakan karena pengalaman yang luas dan dalam, Pak Harto bisa meraba karakter lawan bicaranya. Oleh sebab itu, kesannya menjadi mudah percaya pada seseorang.
Tapi kemampuan untuk meraba hati terdalam lawan bicara itu menurun seiring dengan umur yang semakin meninggi. Hal ini, salah satunya, juga disebabkan oleh semakin terbatasnya serapan informasi yang didapat.
Selain itu juga karena tidak adanya partner diskusi karena teman-teman seangkatan yang dipercayainya sudah meninggal. Terbukti ketika tekanan reformasi menguat, Pak Harto ditinggalkan oleh orang-orang yang sebelumnya berkerumun di sekitarnya. Ini menandakan dia sudah tidak jeli lagi meraba hati para pembantunya. Oleh sebab itu, secara pribadi saya hormat pada almarhum SjaĆ­adilah Mursjid (mantan Menteri Sekretaris Negara), dan Anton Tabah (mantan sekretaris pribadi Pak Harto). Mereka adalah bagian dari sedikit orang yang dengan tulus masih mau menjadi ''teman'' Pak Harto.
Pak Harto lalu bergurau, bahwa saya telat lahir. Karena baru bertemu dia setelah tidak berkuasa. Jika tidak, jabatan menteri sudah di tangan dari dulu. Pertemuan itu pun untuk wawancara demi kepentingan penyusunan disertasi doktoral saya di bidang politik militer. Sebagai salah satu sesepuh TNI, Pak Harto tentu bisa memprediksi masa depan militer.
Tidak Mudah
Ketika aku mengatakan, tentara sudah melempar dadu politiknya sebagai akibat tekanan reformasi dan bertanya mengenai kemungkinan militer masuk barak, Pak Harto justru bertanya, ''Apa agenda reformasi kalian?''. Jujur, mulutku tercekat. Tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Kukatakan apa adanya pada Pak Harto. Agenda reformasi ketika itu adalah menjatuhkan Pak Harto. Titik. Dia menggeleng pelan, lalu berkata, ''Itulah bahayanya jika segala sesuatu tidak dipersiapkan dengan matang.''
Reformasi itu baik, tapi mengatur negara itu tidak mudah, maka segala sesuatu harus dipersiapkan. Jika madu kecampuran racun, ambil madunya. Jika emas kecampuran kotoran, ambilah emasnya. Jadi semuanya tidak dibuang begitu saja.
Selanjutnya dia menjelaskan, hampir mustahil tentara itu masuk barak secara total. Latar sejarah, kondisi geografis dan kemajemukan masyarakat Indonesia secara alamiah menuntut mereka untuk terlibat politik. Artinya, reposisi dan reaktualisasi peran militer tidak harus berarti tentara itu nirpolitik. Hanya kadar keterlibatannya saja yang berbeda.
Sampai kapan pun, tentara bukan hanya akan terlibat dalam urusan perang, tetapi juga nonperang. Kehadiran di medan nonperang ini, meskipun murni kegiatan sosial-kemanusiaan, dapat berubah menjadi aktivistas politik jika politisi sipil menarik-narik mereka masuk ke ranah politik praktis. Terlebih-lebih jika politisi itu ambisi pribadinya lebih besar dari cita-citanya.
Bagi para politisi seperti itu, struktur organisasi militer yang membelah dari pusat sampai ke daerah, yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, oleh mereka dipandang sebagai sebuah sumber daya politik. Tidak mengherankan jika dalam perjalanan sejarah bangsa, banyak politisi sipil mencoba bersandar pada bahu militer agar bisa mengkapitalisasi sumber daya politik tersebut.
Penjelasan Pak Harto itu sejalan dengan pandangan para analis militer pada umumnya. Bagi mereka, memang politisi sipil yang seringkali menjadi pemicu masuknya kembali militer ke ranah politik.
Sampai di sini aku sadar, tulisan ini menjadi terasa kering jika mengupas dialog-dialog yag serius dengan Pak Harto. Sisi kemanusiaan yang selektif, tampaknya justru lebih menarik untuk diceritakan.
Seperti sudah diketahui publik, Pak Harto itu adalah orang cerdas. Daya ingatnya luar biasa. Masih hafal produksi beras tiap tahun, pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan keluarga berencana, dan lain-lain. Ketika aku bertanya siapa mantan menteri yang paham dengan cara pikir Pak Harto dan baik untuk aku ajak ''diskusi'' mengenai masalah-masalah ekonomi, Pak Harto menjawab, ''Pak Marlin'' (maksudnya JB Sumarlin).
Jawaban itu membuat aku sedikit terkejut. Karena seperti teman-teman lain, selama ini aku dibelenggu oleh pemahaman tunggal bahwa dewa pembangunan ekonomi kita adalah Widjojo Nitisastro. Setidaknya akhirnya aku tahu, peran semua menteri, termasuk JB Sumarlin, ternyata ikut menentukan arah Republik. Tidak ada pemain tunggal di sini.
Aku lalu bercerita pada Pak Harto tentang cita-citaku sewaktu kecil, yaitu ingin setiap hari bisa makan telur satu biji. Aku enam bersaudara, karena keterbatasan ekonomi, Emak hanya bisa menggoreng telur sebiji seminggu. Jadi digoreng tipis dan dipotong-potong enam. Bapak dan Emak mengalah tidak mendapatkan potongan telur itu.
Pak Harto tertawa renyah mendengar ceritaku itu. Tapi aku menangkap matanya memancarkan keprihatinan mendengar kisah tersebut. Tiba-tiba perasaan bersalah bergelayut karena menceritakan hal bodoh itu. Agar membuatnya segera gembira, aku cepat menyambar dengan kalimat, ''Tapi saya sekarang sudah bosan makan telur dan ayam.''
Beliau tersenyum. Lalu berkata, ''Iya. Sekarang kamu sudah punya handphone, sekolah di luar negeri, calon doktor. Jangan-jangan malah sudah bosan makan steak!,'' katanya sambil tertawa.
Dengan muka serius Pak Harto menceritakan bahwa untuk bisa membuat semua orang bisa makan telur, bosan makan ayam, mengenyam pendidikan dan kesehatan, dibutuhkan perjuangan yang berat dalam tempo panjang. Tidak mudah mencapai semua itu. Kecurigaan, kritik, caci maki, menjadi makanan tiap hari. Ini belum kalau tekanan internasional ikut diperhitungkan. Lembaga-lembaga internasional itu seringkali ingin mendikte kebijakan pembangunan nasional.
Pak Harto lalu menyampaikan bahwa dalam hidup itu, perbuatan baik dan buruk akan mengikuti sampai ajal. Jika niatnya baik, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan. Mungkin ada akibat kurang baik di sini karena keputusan itu. Tetapi mayoritas rakyat mendapatkan manfaat dari kebijakan tersebut.
Tentu masih banyak persoalan yang kami diskusikan termasuk keprihatinan pada jalannya reformasi yang tanpa agenda. Tapi dari sedikit hal yang sudah aku tulis itu, seandainya saat ini aku Presiden, aku akan segera mengambil keputusan mengenai kasus hukum Pak Harto.
Aku hanya akan mendengar suara mayoritas rakyat untuk mengambil langkah politik itu. Jika mayoritas rakyat menghendaki Pak Harto dimaafkan, maka atas nama bangsa dan negara, sikap itu yang akan saya ambil.
Aku tahu, apapun keputusan mengenai Pak Harto, di dalamnya menganga kontroversi. Ada yang suka, ada yang tidak! Tapi seorang pemimpin, ibarat seorang dirijen, harus berani membelakangi orang-orang yang ingin dipuaskan. Tanpa itu, konser tidak akan berjalan sempurna. Dengan istilah lain, persoalan jangan digantung seperti sekarang.
Minggu kemarin, 27 Januari 2008, aku menenggelamkan diri untuk merenungi kata-kata Pak Harto bahwa musuh kita itu sejatinya bukan Pak Harto atau yang lain. Musuh kita itu sebenarnya adalah Amerika Serikat, China, India dan lain-lain.
Kita akan ''bertarung'' dengan mereka di masa depan. Kalau kita tidak membangun sumber daya manusia yang tangguh, kita akan digulung mereka. Anda mau mengalami itu? Saya tidak!(77)
- Penulis adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate