Sabtu, 08 Maret 2008

Mesu Budi Penegak Hukum

HUKUM itu tidak hanya mampu bekerja biasa-biasa atau datar-datar saja, tapi juga secara luar biasa. Itu saya sebut tiwikrama, seperti Prabu Kresna yang apabila ber-tiwikrama lalu berubah menjadi raksasa yang mengerikan. Sebaiknya kita mengajak publik untuk menjadi lebih cerdas dengan mengatakan bahwa kualitas penegakan hukum itu dapat bermacam-macam, mulai dari yang lembek sampai yang keras dan yang luar biasa.Penegakan hukum tidak sama dengan menerapkan undang-undang (UU) seperti mesin begitu saja. Penegakan hukum adalah lebih dari itu. Kualitas dan intensitas penegakan hukum dapat berbeda-beda. Hukum juga dapat ber-tiwikrama dan mengeluarkan kekuatan yang sangat besar.Dalam khazanah spiritual Jawa, kita mengenal kata mesu budi, yaitu pengerahan sekalian potensi kejiwaan yang ada dalam diri kita untuk mencapai suatu tujuan. Tiwikrama oleh hukum juga terjadi karena para penegak hukum dalam menjalankan hukum melakukannya dengan cara mesu budi.Kualitas negara hukum kita menjadi berbeda manakala hukum dijalankan seperti itu. Karena Timur lebih menitikberatkan kepada dimensi spiritual, maka mesu budi itu juga lebih banyak dibicarakan dalam ranah spiritual, seperti melakukan tapa brata atau hidup asketis.Beberapa waktu lalu, di Gereja Stasi Santo Petrus, Semarang, diselenggarakan pertunjukan monolog reflektif menyambut 2008 bernama ”Mati Sajroning Urip” (mati di dalam hidup) (Kompas Jawa Tengah, 2 Januari 2008).Pertunjukan tersebut berisi ajakan untuk mematikan ego yang hanya merugikan diri sendiri dan sesama. Itulah contoh aktivitas mesu budi sebagaimana banyak dipahami dan diterapkan di Timur. Konsep mesu budi dan tiwikrama sebaiknya kita perluas sehingga juga memasuki ranah penegakan hukum, baik kejaksaan, kepolisian, maupun pengadilan.Pada hemat saya, mesu budi itu masih sangat relevan, bahkan juga pda abad ke-21 ini. Abad ke-21 semakin marak dan dipadati oleh teknologi, sains, dan berpikir rasional. Kendati hidup dalam suasana yang demikian, sikap mesu budi itu tetap bernilai tinggi; karena tanpa bersikap demikian, sains dan teknologi hanya akan lebih membawa malapetaka.Dalam dunia hukum, cara berhukum dapat dilakukan menurut bunyi formal teks UU serta posedurnya (black letter law). Itulah cara yang masih dominan dalam hukum di Indonesia dewasa ini. Itu adalah cara menjalankan hukum yang paling mudah dan sederhana.Konon di antara para penegak hukum, cara itu juga dianggap paling aman untuk dijalankan, seraya menunggu datangnya hari pensiun. Oleh karena itu, sangat sedikit jumlah mereka yang mau menjadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum, seperti dilakukan oleh Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto waktu ingin membongkar kolusi di Mahkamah Agung (MA) pada 1993.
Sang Pejuang TerpentalPenegakan hukum model pejuang tersebut memang berisiko tinggi. Itu terjadi pada hakim Adi Andojo yang —demi kecintaannya kepada institut MA— tergerak untuk memperbaiki citra badan pengadilan tertinggi tersebut. Sang pejuang malah terpental; itulah risikonya.Hakim Agung Adi Andojo adalah satu contoh dari penegak hukum yang melakukan mesu budi itu. Hakim-hakim agung lain yang tidak mesu budi, yang tidak berbuat ”macam-macam”, yang mengikuti petunjuk dari buku-buku dengan baik-baik (rule book model), memang selamat dalam meniti karirnya.Tetapi hakim macam manakah, yang lebih berjasa untuk bangsa, apalagi dalam suasana kemerosotan mental seperti sekarang ini? Buat saya, adalah yang melakukan mesu budi itu.Saya sependapat dengan Paul Scholten, salah seorang raksasa pemikir hukum Belanda, bahwa hukum itu menyimpan kekuatan pendobrak (expansiekracht) untuk keluar dari kemandekan. Ekspansiekracht terjadi pada saat Prabu Kresna ber-tiwikrama dan kekuatannya menjadi berlipat ganda. Maka kekuatan pendobrak hukum itu juga hanya akan muncul (manifest) di tangan penegak hukum yang menjalankan tugasnya dengan mesu budi.Memang tidak ada mata kuliah mesu budi dalam kurikulum fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia. Hukum diajarkan secara formal dan datar-datar (linear) saja. Itu merupakan kekurangan besar, terutama pada waktu dari dalam fakultas-fakultas tersebut diharapkan muncul para vigilante hukum yang mampu melawan kekuatan hitam yang ingin menghancurkan Indonesia, seperti korupsi, narkoba, dan perusakan lingkungan.Kita mengenal konsep menjalankan pekerjaan dengan cara beyond the call of duty, yaitu bertindak lebih dari yang diwajibkan. Maka, sejalan dengan pikiran tersebut, mesu budi dalam penegakan hukum adalah menjalankan hukum dengan kualitas beyond the call of rule. Mengapa Hakim Agung Adi Andojo tidak duduk manis saja selama menjabat hakim agung? Jawabannya adalah, karena ia termasuk kategori hakim yang menjalankan pekerjaannya dengan kualitas dan tujuan beyond the call of rule. Adi Andojo gelisah atas rendahnya citra MA di mata masyarakat, sedangkan yang lain-lain duduk manis saja karena berpikir ”tugas saya hanya memeriksa dan mengadili”.Untuk menghadapi keadaan luar biasa dewasa ini, kita lebih membutuhkan mereka yang mesu budi daripada mereka yang memilih menjalankan hukum seperti mesin. Apakah saya sedang bermimpi dan berkhayal? Tidak juga, karena survai Bank Dunia 2005 masih menemukan jaksa-jaksa dan hakim-hakim kecil di daerah-daerah yang menjalankan pekerjaannya dengan cara-cara luar biasa, tanpa ada yang menyuruh.Sayangnya, dalam suasana bangsa yang korup seperti sekarang ini, mereka justru dikucilkan oleh lingkungannya, atau ”dibuang” jauh-jauh. Mari kita berikan tepuk tangan dan dukungan kepada orang-orang kecil yang bekerja secara diam-diam di pelosok itu, sebab sekarang kita sungguh membutuhkan hukum yang ber-tiwikrama.(68)–– Prof Satjipto Rahardjo SH, Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang. (SM 8/3/08)