Selasa, 04 Desember 2007

Sasaran UN Bisa Gagal Model Bantuan Pemerintah Hanya Untungkan Sekolah Unggulan
Jakarta, Kompas - Salah satu tujuan ujian nasional atau UN sebagai pemetaan, yang diikuti peningkatan kualitas pendidikan, sebatas menguntungkan sekolah- sekolah papan atas. Sebab, umumnya sekolah semacam itulah yang mendapatkan nilai UN tinggi dan menerima keuntungan finansial untuk pengembangan sekolah.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai, Selasa (4/12), keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menggunakan data pemetaan hasil UN belum mencapai target sasaran. Keuntungan masih mengalir ke sekolah-sekolah papan atas atau unggulan.
Dia mencontohkan, sekolah- sekolah yang mendapat nilai rata- rata hasil UN baik dan cemerlang biasanya yang akan terpilih dalam program sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Terdapat syarat nilai rata-rata UN untuk menjadi peserta program itu. Sebagai tindak lanjut dari adanya label sekolah berstandar nasional dan internasional tersebut ialah terdapatnya bantuan khusus berupa dana yang terbilang besar.
Sebaliknya, sekolah yang masih tertinggal dan angka kelulusannya kecil justru kurang mendapat prioritas. Dia mencontohkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan secara merata terhadap seluruh siswa dan sekolah dengan jumlah yang sama per kepala. Bantuan lainnya berdasarkan proposal yang harus mengantre. Padahal, sekolah tertinggal butuh percepatan agar tidak tercipta disparitas terlalu tinggi.
"Dengan demikian, sekolah yang maju semakin maju. Sebaliknya, yang tertinggal semakin tertinggal," ujarnya.
Melihat keadaan itu, dia beranggapan pemerintah kurang konsisten dengan keinginannya agar UN menjadi pemetaan untuk peningkatan mutu pendidikan. Padahal, dengan UN seperti model yang dilaksanakan sekarang, anak yang menjadi korbannya. Anak lebih fokus ke bidang yang diujikan sehingga potensinya menjadi tidak tergali. Orangtua juga tak kalah stres dalam mendampingi anak dan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk les tambahan serta bimbingan belajar di luar sekolah.
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Suyanto menjelaskan, kucuran bantuan dana pendidikan pemerintah kepada sekolah-sekolah itu bersifat bantuan saja supaya sekolah minimal bisa memenuhi standar nasional. Setelah berstandar nasional, sekolah itu lalu ke depannya bisa bertaraf internasional.
"Sekolah yang bisa mencapai standar nasional bukan karena hasil UN-nya sudah baik, tetapi karena sekolah itu sudah bisa memenuhi standar pendidikan secara nasional. Jika sekolah sudah bagus, otomatis hasil UN-nya bagus," kata Suyanto. (INE/ELN)

Senin, 03 Desember 2007

Tips Bagaimana Mendelegasikan Tugas

Untuk anda para pemimpin dimanapun posisi anda, kami sajikan Tips bagaimana mendelegasikan tugas pada bawahan :

  1. Definisikanlah tugas-tugas yang harus didelegasikan.
    Definisikanlah dengan jelas batas-batas wewenang yang dilimpahkan kepada seseorang.
  2. Tentukanlah dengan jelas batas-batas wewenang yang dilimpahkan kepada seseorang.
  3. Jelaskan bagaimana, kapan, dan kepada siapa suatu tugas diserahi dan harus melaporkan kembali.
  4. Tentukanlah cara pengawasan.
  5. Pikirkanlah bagaimana orang itu harus disiapkan untuk tugas yang didelegasikan.
  6. Pendelegasian harus diikuti dengan kepercayaan bahwa saudara yang mendapat tugas itu dapat menyelesaikan tugasnya.
  7. Berikanlah penghargaan kepada mereka yang menyelesaikan tugas dengan baik karena penghargaan memberikan juga kesukaan, dan sekaligus adalah kunci keberhasilan dalam hal pendelegasian
    (diapdaptasi dari artikel dari Indolead)

Demokrasi Bukan Hanya Cara Semata

Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla di dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007, yang menjadi kesimpulan partai bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 26/11/2007), amat mengejutkan dan perlu dikoreksi. Karena bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang kita bangun di era Reformasi ini.
Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus-menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.
Jika hal itu dipahami, demokrasi tidak pernah boleh dinomorduakan di bawah tujuan yang luhur sekalipun (peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat) sebab hal itu berarti tidak/kurang memahami makna demokrasi, bahkan dapat menyesatkan dan membuka peluang bagi kembalinya cara-cara otoriter dan totaliter bahkan fasisme.
Sejarah politik dan ketatanegaraan kita selama paling tidak dua periode, yaitu Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998), telah memberikan pelajaran dari pengalaman empiris bangsa ini untuk tidak lagi dininabobokan alias diperbodoh dengan alasan demi mencapai tujuan yang luhur sebab ternyata tujuan yang luhur itulah yang dijadikan alasan pembenaran terhadap cara-cara otoriter dan represif yang digunakan pihak penguasa terhadap rakyatnya, yaitu tujuan menghalalkan cara (The end justifies the means). Itulah contoh nyata betapa salahnya pemikiran bahwa demokrasi hanyalah cara semata yang bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama, yaitu apa yang disebut "peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat" oleh pimpinan Partai Golkar, yang kebetulan adalah juga Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla.
Penghormatan HAM
Ada bahaya lain yang perlu diingatkan bahwa demokrasi itu memiliki roh atau inti yang tidak lain adalah hak-hak dasar dan asasi manusia, yang merupakan kriteria obyektif dan universal untuk menilai kemajuan peradaban sesuatu bangsa tidak terkecuali Indonesia.
Kita sudah berhasil memasukkan semua butir mutiara hak asasi manusia (HAM) di dalam Amandemen UUD 1945. Hal itu berarti juga bahwa kita sudah berkomitmen untuk membangun jiwa demokrasi dalam perspektif penghormatan kepada HAM.
Semakin demokratis suatu bangsa, akan pula semakin kokoh penghormatan kepada kemanusiaan ataupun kepada jaminan dan perlindungan HAM dan warga negara. Sebab demokrasi yang bernapaskan HAM akan menjamin eksistensi pluralisme dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Kita akan lebih mampu menghormati keberagaman, perbedaan pendapat, bahkan lawan-lawan politik.
Saya teringat ucapan Voltaire yang kurang lebih mengatakan "Saya berlawanan pendapat dengan Anda, tetapi saya akan lindungi hak Anda untuk hidup dan berbeda pendapat dengan saya." Jiwa demokratik inilah yang hilang dalam dua periode tersebut diatas, lebih-lebih dalam Orde Baru di mana orang yang berbeda pendapat dengan pihak penguasa bukan saja dianggap mbalelo melainkan lebih lagi, dianggap lawan yang harus dipinggirkan bahkan diculik, ditahan, dipenjarakan atau lebih dahsyat lagi dibunuh atau paling tidak hak perdatanya dimatikan.
Maka karena itu pernyataan Jusuf Kalla harus ditolak dan dikoreksi oleh kita semua para pejuang demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia di Tanah Air tercinta.
Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior

Kliping Koran

UN Banyak Kelemahan Sisi Metodologis Harus Diperbaiki
Jakarta, Kompas - Pelaksanaan ujian nasional di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan sehingga dirasa perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain. Salah satu kelemahan tersebut antara lain metodologisnya kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik.
Hal itu terungkap dalam seminar sehari tentang National Examination Authority bertema "Peranan Lembaga Otoritas Pengujian Nasional: Pelajaran dari Negara-Negara Lain" yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Senin (3/12).
Umumnya, di negara-negara yang mempresentasikan makalahnya, ujian bersifat nasional untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan. Hanya saja, pelaksanaannya tidak bersifat "vonis" siswa dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam kesempatan itu, pakar psikometri yang juga mantan Kepala Pusat Pengujian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jahja Umar mengatakan, negara yang maju sekalipun berkepentingan mengendalikan dan meningkatkan mutu lulusan sekolah dalam arti prestasi akademik pada mata pelajaran yang dianggap kunci.
Jahja menilai UN secara metodologis berkualitas rendah dan kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Sebagai contoh, skor hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan komparabilitas secara ilmiah. Selain itu, manajemen ujian tidak dilakukan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas di bidang pengujian.
Bukan vonis
Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Director Malaysia Examinations Syndicate Ministry of Education Mohammed Zakaria B Mohd Noor mengatakan, untuk murid sekolah dasar, ujian tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa.
Chief Executive Singapore Examinations and Assessment Board Tan Yap Kwang mengungkapkan, ujian secara nasional diselenggarakan agar murid mempunyai standar yang tinggi dan dilaksanakan lembaga khusus tanpa intervensi pihak luar.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas Burhanuddin Tola mengatakan, Balitbang hendak mencari masukan terkait perubahan kelembagaan, terutama lembaga pengendali mutu secara nasional dengan otoritas pengujian penuh. Negara-negara lain telah mempunyai lembaga itu. (INE) sumber : Kompas 4 Des 07