Minggu, 23 Desember 2007

Rancangan PP Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Senin, 03 Des 2007,Rancangan PP Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Daerah Otonom Bisa DihapusMenjelang ulang tahun ketujuh otonomi daerah, pemerintah pusat akan menerapkan perangkat baru untuk "mengendalikan" daerah. Meski agak terlambat, peraturan pemerintah (PP) yang ditargetkan berlaku mulai 2008 tersebut sekarang tengah intensif dibahas pemerintah. Apa konsekuensinya bagi daerah? Berikut ulasan Wawan Sobari dari the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).--------Pantas saja pemerintah bergeming atas berbagai kritik terhadap kebijakan pengelolaan anggaran daerah (Permendagri 13/2006 dan 59/2007). Bahkan, daerah-daerah yang meradang, terutama pemilik klub sepak bola, tidak begitu digubris. Ternyata, sedang ada agenda besar untuk mengevaluasi kinerja daerah. Melalui rancangan PP tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (EPPD), pemerintah menyiapkan perangkatnya. Pendapatan dan alokasi pembiayaan dalam APBD merupakan salah satu objek evaluasi. Draf yang terdiri atas 61 pasal ditambah lampiran setebal 20 halaman itu cukup ambisius. Secara normatif, tujuan PP tersebut adalah mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah. Yakni, untuk menjamin agar kewenangan yang didelegasikan kepada daerah berjalan efektif. Namun, tidak tertutup kemungkinan muncul sejumlah motif empiris yang bernuansa kepentingan pemerintah yang kuat. Dimensi TeknisSebagai satu sistem evaluasi, EPPD terdiri atas tiga evaluasi utama. Pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD). Kedua, evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD). Terakhir, evaluasi daerah otonom baru (EDOB). Masing-masing memiliki peruntukan yang berbeda. Hanya, ujung tombak pelaksanaan seluruh evaluasi itu terletak pada EKPPD.Pemerintah melakukan EKPPD untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil pengukuran EKPPD itulah yang nantinya menjadi dasar upaya peningkatan kinerja daerah. Sementara itu, EKPOD dilakukan untuk menilai kapasitas daerah dalam mencapai tujuan otonomi. Yaitu, pencapaian kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan publik, dan daya saing daerah.EDOB secara spesifik dilakukan pada daerah hasil pemekaran. Tujuannya, memonitor perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah baru. Semua aktivitas evaluasi secara nasional dijalankan timnas EPPD yang dibentuk presiden. Anggota tim tersebut adalah menteri-menteri lintas departemen terkait dan kepala lembaga nondepartemen yang diketuai Mendagri. Untuk menjalankan aktivitas keseharian, timnas dibantu tim teknis dari unsur-unsur institusi pemerintah tersebut. Dalam pelaksanaan evaluasi, timnas dibantu pakar dan lembaga independen yang berkompeten.Ujung tombak pelaksanaan evaluasi sebenarnya ada di tangan tim daerah EPPD di tingkat provinsi. Tugas utamanya adalah melakukan EPPD di seluruh kabupaten dan kota. Struktur keanggotaan tim daerah terdiri atas kepala dinas dan badan yang dibantu tim teknis. Tim itu tidak hanya mengukur kinerja kabupaten/kota, tetapi juga memeringkatnya. Uniknya, provinsi dan kabupaten/kota juga melakukan pengukuran kinerja mandiri atas penyelenggaraan kewenangan yang didelegasikan pemerintah.Evaluasi yang kali pertama dilakukan adalah EKPPD. Hasil evaluasi tersebut akan menjadi rekomendasi bagi pelaksanaan EKPOD atas dasar peringkat prestasi daerah. Bagi daerah-daerah yang dikategorikan berprestasi rendah selama tiga tahun berturut-turut, akan dilakukan EKPOD. Hasil EKPOD yang buruk bisa menyebabkan daerah dihapus dan digabung. Artinya, eksistensi daerah otonom akan berakhir bila EKPOD-nya minus.Potensi KelemahanBerdasar hasil analisis argumen kebijakan dalam draf PP tersebut, ditemukan sejumlah potensi kelemahan. Pertama, persoalan kredibilitas institusi pemerintah. Dalam praktiknya, proses EPPD tidak lebih dari sebuah evaluasi diri sendiri (self assessment). Sebab, intinya, pemerintah menjadi pemegang otoritas tunggal dalam rangkaian evaluasi. Meski keterlibatan lembaga independen dimungkinkan, perannya sebatas operator evaluasi.Masih dalam persoalan yang sama, pengukuran kinerja mandiri oleh provinsi, kabupaten/kota berpotensi bias evaluasi. Artinya, akan muncul potensi konflik kepentingan atas hasil evaluasi. Apalagi sumber utama dalam evaluasi tersebut adalah laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) yang dibuat pemerintah daerah. Kalaupun ada sumber data pelengkap, tidak jauh berbeda karakteristiknya. Misalnya, dari LPJ pelaksanaan APBD, laporan kinerja instansi pemerintah daerah, dan sejenisnya.Posisi masyarakat sebagai sumber pelengkap dalam proses evaluasi menambah beban kredibilitas tersebut. Setidaknya ada tiga sumber yang berasal dari masyarakat. Yakni, hasil survei kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan publik, laporan lembaga independen atas kinerja pemerintahan daerah, dan tanggapan masyarakat atas informasi LPPD. Posisinya sebagai pelengkap tentu tidak sebanding dengan kehadiran masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan dampak kebijakan. Namun, keuntungan dari sisi input proses evaluasi, tentunya pilihan kebijakan itu menyebabkan efisiensi dari segi biaya yang relatif bisa ditekan. Kedua, EPPD menawarkan konsep evaluasi yang relatif konvensional. Indikator yang mengukur capaian kinerja pemerintahan melalui penilaian masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak cukup sederhana (black box evaluation). Hasil evaluasi cenderung menghasilkan jawaban atas bekerjanya pemerintahan daerah semata. Sementara itu, penyebab pemerintahan bisa berjalan atau bekerja kurang mendapat perhatian. Padahal, penyelenggaraan pemerintahan bukan persoalan teknis administratif semata. Melainkan sebuah proses yang sensitif terhadap konteks politik dan sosial. Sebaliknya, fakta empiris yang ditemukan JPIP atas kinerja positif pemerintahan daerah tidak terlepas dari persoalan teknis tersebut. Lahirnya inovasi daerah juga merupakan kontribusi dari kuatnya komitmen politik kepala daerah, inovatifnya kepemimpinan kepala daerah, dukungan politik DPRD, terakomodasinya kepentingan birokrasi, dan beberapa faktor nonteknis lain. Faktor eksternal tersebut penting diperhatikan karena akan membantu pengidentifikasian kekurangan atau penyebab kegagalan kinerja. Dengan demikian, hal tersebut akan memudahkan upaya peningkatan kinerja pada masa datang. Terakhir, persoalan pembobotan. Selain mengukur, EPPD melakukan pemeringkatan. Konsekuensinya adalah pada kategorisasi prestasi daerah. Suatu daerah mungkin menduduki peringkat capaian kinerja sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Peringkat itu didasarkan pada kapasitas kinerja masing-masing daerah. Namun, secara bersamaan EPPD tidak menawarkan bentuk pembobotan yang bisa menimbulkan persoalan disparitas (perbedaan) antardaerah.Persoalanya, ketika otonomi daerah untuk kali pertama diterapkan, setiap daerah tidak berada pada titik start yang sama. Artinya, ada daerah yang sudah tergolong maju dan kaya inovasi, ada pula yang sebaliknya. Kalau semua daerah diukur dengan standar pengukuran sama, tanpa memboboti keadaan tersebut, hal itu akan berdampak pada keadilan pengukuran. (otonomi@jpip.or.id)