Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla di dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007, yang menjadi kesimpulan partai bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 26/11/2007), amat mengejutkan dan perlu dikoreksi. Karena bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang kita bangun di era Reformasi ini.
Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus-menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.
Jika hal itu dipahami, demokrasi tidak pernah boleh dinomorduakan di bawah tujuan yang luhur sekalipun (peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat) sebab hal itu berarti tidak/kurang memahami makna demokrasi, bahkan dapat menyesatkan dan membuka peluang bagi kembalinya cara-cara otoriter dan totaliter bahkan fasisme.
Sejarah politik dan ketatanegaraan kita selama paling tidak dua periode, yaitu Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998), telah memberikan pelajaran dari pengalaman empiris bangsa ini untuk tidak lagi dininabobokan alias diperbodoh dengan alasan demi mencapai tujuan yang luhur sebab ternyata tujuan yang luhur itulah yang dijadikan alasan pembenaran terhadap cara-cara otoriter dan represif yang digunakan pihak penguasa terhadap rakyatnya, yaitu tujuan menghalalkan cara (The end justifies the means). Itulah contoh nyata betapa salahnya pemikiran bahwa demokrasi hanyalah cara semata yang bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama, yaitu apa yang disebut "peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat" oleh pimpinan Partai Golkar, yang kebetulan adalah juga Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla.
Penghormatan HAM
Ada bahaya lain yang perlu diingatkan bahwa demokrasi itu memiliki roh atau inti yang tidak lain adalah hak-hak dasar dan asasi manusia, yang merupakan kriteria obyektif dan universal untuk menilai kemajuan peradaban sesuatu bangsa tidak terkecuali Indonesia.
Kita sudah berhasil memasukkan semua butir mutiara hak asasi manusia (HAM) di dalam Amandemen UUD 1945. Hal itu berarti juga bahwa kita sudah berkomitmen untuk membangun jiwa demokrasi dalam perspektif penghormatan kepada HAM.
Semakin demokratis suatu bangsa, akan pula semakin kokoh penghormatan kepada kemanusiaan ataupun kepada jaminan dan perlindungan HAM dan warga negara. Sebab demokrasi yang bernapaskan HAM akan menjamin eksistensi pluralisme dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Kita akan lebih mampu menghormati keberagaman, perbedaan pendapat, bahkan lawan-lawan politik.
Saya teringat ucapan Voltaire yang kurang lebih mengatakan "Saya berlawanan pendapat dengan Anda, tetapi saya akan lindungi hak Anda untuk hidup dan berbeda pendapat dengan saya." Jiwa demokratik inilah yang hilang dalam dua periode tersebut diatas, lebih-lebih dalam Orde Baru di mana orang yang berbeda pendapat dengan pihak penguasa bukan saja dianggap mbalelo melainkan lebih lagi, dianggap lawan yang harus dipinggirkan bahkan diculik, ditahan, dipenjarakan atau lebih dahsyat lagi dibunuh atau paling tidak hak perdatanya dimatikan.
Maka karena itu pernyataan Jusuf Kalla harus ditolak dan dikoreksi oleh kita semua para pejuang demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia di Tanah Air tercinta.
Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar