Senin, 19 Mei 2008

Kebangkitan Nasional Ditelan Krisis Global?

Christianto Wibisono
ada 20 Maret saya menulis surat kepada Presiden Yudhoyono melaporkan tentang rencana Global Nexus Institute mengundang Kishore Mahbubani untuk berbicara tentang tesis dalam buku The New Asian Hemisphere. Pada 2 April Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan bahwa Presiden di tengah kesibukannya telah membaca dan mengetahui tesis Mahbubani, dan malah menyatakan niat meningkatkan acara itu menjadi Presidential Lecture. The New Asian Hemisphere memakai sub judul The Irresistible Shift of Global Power to the East. Asia akan mengembalikan proporsi total produk domestik bruto (PDB)-nya mengalahkan Barat (Eropa dan AS) seperti sebelum imperialisme dan revolusi industri. Sebagian tesis Mahbubani sudah saya tulis dalam kolom 11 Februari berjudul Reposisi Indonesia pada Restorasi Asia II.
Presiden sepakat bahwa tesis Mahbubani merupakan rangsangan bagi pakar Indonesia untuk berkiprah mengajukan inquiry empiris, sebab Indonesia dan ASEAN seolah tidak berperan signifikan dalam Kebangkitan Asia II versi Mahbubani. Setahun yang lalu kolom ini mengawali wacana tentang posisi Indonesia di masa depan mengacu pada proyeksi The Economist bahwa Indonesia akan masuk 10 besar ekonomi dunia. Yayasan Indonesia Forum pada 23 Maret 2007 meluncurkan Visi Indonesia 2030 bahwa RI akan masuk dalam 5 besar ekonomi dunia mengacu kepada proyeksi Goldman Sachs dalam studi BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Presidential Lecture oleh Kishore Mahbubani merupakan peluang bagi pakar Indonesia untuk menjadi "produsen" dan bukan sekedar "konsumen" berbagai teori hasil para teoritisi global.
Krisis BBM adalah bagian dari krisis global yang merupakan force majeur. Jadi, kalau kita tenggelam dalam lumpur diskusi BBM yang dipolitisir secara vulgar, akan membuat kita lumpuh dalam mengikuti perkembangan strategi geopolik yang akan mempengaruhi nasib bangsa ini seabad ke depan. Karena itu, peringatan Seabad Kebangkitan Nasional seperti ditulis Sabam Siagian Sabtu 3 Mei lalu, tidak bisa hanya sekadar nostalgia. Tetapi harus diisi dengan tekad dan wacana segar tentang ke mana bangsa ini mau menuju seabad ke depan. Acara yang diprakarsai Global Nexus Institute ini merupakan upaya menyiapkan elite Indonesia berpikir strategis, dan tidak tenggelam dalam rutinitas, serta kepanikan force majeur tanpa visi.
Debat
Pada hari Kamis, 15 Mei saya memberi ceramah di depan Divisi Analisis Strategis Badan Intelijen Nasional (BIN) bertema Anatomi Krisis Global membahas krisis global yang merupakan fusi dari krisis 3F (food, fuel and financial crises). Krisis pangan diawali dengan kegagalan panen gandum di Australia, dan kenaikan harga komoditas pangan yang dialihkan menjadi biofuel seperti jagung dan tebu. Kenaikan harga minyak sampai dua kali lipat dibanding pagu US$ 50 yang telah berlangsung beberapa tahun, mendorong pengalihan energi berbasis fosil menjadi bioenergi.
Tetapi Renewable Fuel Association (RFA), gabungan industri etanol AS, menolak kecaman itu dengan menyatakan bahwa seandainya tidak ada etanol, maka kenaikan harga minyak sudah akan mencapai tingkat yang lebih tinggi dari yang sekarang. Dalam jumpa pers di National Press Club Washington DC 1 Mei, mantan Menteri Pertanian AS John Block menyatakan bahwa jika tidak ada industri etanol sebagai produk alternatif, maka harga bensin di AS akan mencapai US$ 4.14 per galon. Ketua Corn Growers Association Rick Tolman menyatakan, bahwa keuntungan perusahaan migas mencapai US$ 128 miliar, karena harga minyak melonjak dari US$ 10 tahun 1999 menjadi US$ 120 hanya dalam 9 tahun. Dengan adanya alternatif etanol, maka konsumen AS menghemat US$ 69 miliar per tahun. Center for Agricultural and Rural Development Iowa State University menghitung penurunan harga bensin antara $ 0,29 sampai $ 0,40 karena ada etanol sebagai pesaing.
Di Indonesia debat tentang kenaikan BBM menjadi debat yang tidak rasional, karena lekat dengan kepentingan subjektif, hanya untuk menjatuhkan pesaing politik. Padahal, siapa pun yang menjadi presiden pasti harus menaikkan harga BBM kalau tidak ingin mengalami kondisi ekonomi yang lebih rawan. Dalam surat usulan DPD kepada Presiden ada 9 butir saran untuk menghindari kenaikan BBM. Pertama adalah penjadwalan utang dalam dan luar negeri. Ini suatu yang akan menurunkan rating Indonesia di mata internasional. Unsur default ini malah akan memacu kemerosotan nilai rupiah karena arus modal masuk akan terputus dan pelarian modal akan semakin menggejala.
Argumentasi Kwik Kian Gie tentang opportunity lost tidak pernah menjadi wacana mainstream, tetapi hanya dianggap sempalan teoretis yang tidak realistis. Kwik sempat didemo pada 14 Mei sehari setelah terlibat dialog panas dengan Wapres Jusuf Kalla dalam panel bersama Amien Rais, Habibie, dan Hendropriyono. Massa pembela Laksamana Sukardi mendemo rumah Kwik di Kebayoran karena Kwik mengecam keras privatisasi di zaman Laksamana menjabat Menteri Negara BUMN. Dua mantan menteri ini meski berasal dari PDIP (sebelum keduanya keluar), merupakan "lawan bebuyutan" secara ideologis. Kwik penganut garis intervensionis Keynesian Rotterdam, sementara Laksamana pewaris tulen pelaku bursa Wall Street (mantan bankir Lippo Group).
Bermental Orba
Peluncuran buku Amien Rais dihadiri oleh tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim yang diperkenalkan sebagai konsultan School of Advance International Studies John Hopkins University atas jasa Paul Wolfowitz. Anwar Ibrahim agak mengerem buku Amien Rais dengan menyatakan bahwa nasionalisasi tidak akan menyelesaikan persoalan. Sekarang ini orang berteriak tentang fundamentalisme pasar untuk menyalahkan krisis global dan ingin kembali ke etatisme atau otoriterisme negara sebagai pengendali dan pengarah pasar. Yang lebih tepat ialah kembali ke jalan tengah, dimana otorita publik mengintervensi bila pasar menjadi liar dan suicidal.
Dunia saat ini mengalami dislokasi dan instabilitas pasca-hegemoni Barat, karena Asia telah matang untuk bangkit seperti tesis Mahbubani yang juga diperkuat oleh Amy Chua, Parag Khanna, dan Fareed Zakaria. Pada setiap perubahan bobot kekuatan imperium regional atau global akan terjadi semacam gempa politik yang merubah struktur dan komponen geopolitik. Ini akan memakan waktu, sehingga tercapai keseimbangan baru yang mencerminkan perubahan proporsional dari kekuatan nation states yang mengalami pasang surut. Peringatan Seabad Kebangkitan Nasional nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk pro dan kontra kenaikan BBM yang seolah menjadi zero sum game bagi elite politik dan bangsa Indonesia. Jika elite Indonesia masih bermental Orba Soehartois yang ingin menjadi predator terhadap sesamanya tanpa mempedulikan peringkat harkat martabat bangsa ini di dunia internasional, maka buat apa mempunyai visi mau jadi 5 Besar Dunia? Jika elite hanya saling menjatuhkan secara partisan dengan tega dan kejam mengadu domba rakyat, bahkan mengulang insiden berdarah kekerasan model Mei, maka bangsa yang tega menjadi predator untuk rakyatnya sendiri, tidak akan pernah menjadi bangsa besar. Sia-sialah kepeloporan Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi menegakkan kemerdekaan. Sebab, setelah merdeka justru terus saling bantai kudeta suksesi dengan pola kekerasan model 1966 dan 1998. Seabad Kebangkitan Nasional harus menjadi tonggak untuk menciptakan suksesi demokratis tertib sabar menanti pemilu dan pilpres. Kalau setiap kali mengganti presiden mesti dengan Malari atau Mei 1998, maka pastilah Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar dan bermartabat.
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
Sumber :http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/19/Editor/edit02.htm

Tidak ada komentar: