Saat ini pendidikan kita masih dihadapkan pada persoalan-persoalan seputar mutu pendidkan dan pmerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Mana yang lebih dulu perlu dipecahkan menjadi bahan perdebatan yang seru. Ada kelompok yang lebih mengedepankan pemerataan lebih dulu denga alasan keadilan, tetapi ada pula kelompok yang lebih mengutamakan mutu karena untuk mengejar ketertinggalan.
Sayangnya banyak praktisi pendidikan yang justru tidak melakukan dua-duanya. Meningkatkan mutu tidak dan memperluas pemerataanpun tidak.
Tengoklah ke sekolah, gali lebih dalam bagaimana sekolah dikelola. Pada awal tahun saat penerimaan siswa baru sekolah-sekolah yang berorientasi pada mutu mestinya sudah berani mengambil pilihan membatasi jumlah siswa yang diterima. Pembatasan ini tidak hanya didasarkan pada ketersediaan ruang kelas tetapi juga mempertimbangkan beban guru dalam mengajar. Pembatasan jumlah murid dalam satu kelas menjadi kelas kecil dengan jumlah yang memungkinkan guru bisa memberikan perhatian kepada murid adalah bukti konkrit orientasi sekolah pada mutu yang tinggi.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah : ada berapa sekolah yang sudah melakukan hal ini? Alasan yang dikemukan selalu saja tentang biaya. Alasan klasik. Penulis punya keyakinan kalau sekolah bisa membuktikan bahwa sekolah bisa memberikan nilai tambah yang nyata, orang tua pasti akan memberikan dukungan. Selama ini dukungan masih belum optimal karena orang tua merasa bahwa nilai tambah yang diberikan oleh sekolahpun belum optimal.
Kenyataan kedua yang bisa dijadikan indikator bahwa masih belum banyak sekolah belum berorientasi pada mutu bisa dilihat dari anatomi RAPBS/APBSnya. Tengoklah berapa prosen anggaran yang dialokasikan untuk buku perpustakaan, alat pelajaran, bahan praktek. Sudahkan pengalokasiannya berpihak pada peningkatan mutu? Kalau sudah lihatlah realisasinya. Apakah rencana anggaran itu sudah direalisasi sesuai rencana? Jika jawabnya sudah coba gali lebih dalam bagaimana pemanfaatannya, adakah upaya-upaya konkrit untuk itu?
Kita semua menyadari bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan. Core bisnisnya atau kegiatan pokoknya adalah PROSES PEMBELAJARAN. Inti proses pembelajaran adalah interaksi siswa dengan sumber belajar dengan guru sebagai fasilitator dan sumber belajar. Karena PROSES PEMBELAJARAN atau Kegiatan belajar mengajar adalah CORE BISNIS nya sekolah maka mestinya sumber daya sekolah diarahkan untuk memperbaiki kualitas kegiatan utama sekolah (KBM) itu. Kegiatan-kegiatan lain di sekolah adalah dalam rangka keberhasilan KBM. Berkaitan dengan tugas pokok sekolah yang demikian maka pertanyaan yang muncul adalah : berapa prosen waktu yang digunakan kepala sekolah yang diarahkan secara langsung untuk memperhatikan kualitas KBM? Pertanyaan yang lebih spesifik adalah berapa frekwensi kepala sekolah melukan supervisi sehingga dia tahu betul mana guru yang KBM nya berkwalitas dan mana yang belum? Bantuan profesional apa yang sudah dilakukan oleh kepala sekolah kepada guru untuk memperbaiki KBM? Punyakah kepala sekolah progres kemajuan kelas dalam KBM yang diupdate setiap saat? Berapa jam dalam satu hari di sekolah yang digunakan untuk mengikuti perkembangan peningkatan KBM?
Dari pengamatan sepintas (semoga pengamatannya salah) KBM sebagai core bisnis sekolah belum mendapatkan perhatian yang PROPORSIONAL oleh kepala sekolah. Bahkan pada beberapa kasus kepala sekolah lebih sibuk mengurusi yang lain-lain dibandingkan dengan perhatiannya kepada kegiatan belajar mengajar. Bahkan ada yang melimpahkan sepenuhnya KBM kepada wakil/urusan kurikulum.
Dari indikator-indikator ini barangkali cukup untuk mengatakan bahwa kita masih setengah hati meningkatkan mutu pendidikan. (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar