Seorang teman yang kebetulan pejabat di Dinas Pendidikan cerita kalau anaknya keempatnya yang baru lulus TK yang dimasukkan di SD favorit di daerahnya mogok sekolah. Usut punya usut, ternyata marah pada guru yang menolak menerima hasil pekerjaan rumahnya yang belum seratus persen jadi.
Karena penasaran ingin mengetahui bagaimana guru dari sekolah favorit itu memberi PR pada anak iseng-iseng saya minta diperlihatkan jenis PR nya. Harapannya bisa belajar bagaimana guru sekolah favorit memberi tugas muridnya sehingga bisa nambah wawasan. Maklum sebagai pengawas sekolah kadang perlu memberi contoh kepada teman-teman guru.
Beberapa hari berikutnya ternyata teman saya tersebut memperlihatkan buku PR anaknya. Mata pelajarannya Agama Islam. Pekerjaan rumah yang diberikan kepada anak teman saya itu ternyata menulis surat Al Fatihah dalam bahasa indonesia. Sederhana bukan? Ya, memang tugas itu sangat sederhana untuk ukuran kita, karena hanya mengubah lafal al fatihah yang di luar kepala menjadi tulisan di buku. Tapi coba anda bayangkan bagaimana anak kelas I SD, yang belum genap satu bulan belajar harus mengerjakan tugas ini! Bukankah cukup sulit mengubah lafal huruf arab menjadi tulisan dengan huruf latin? Bukankah ini diperlukan kemampuan transliteracy yang baik? Lalu sejauh manakah penguasaan huruf anak kelas I sekolah dasar itu? Barangkali kita berfikir : karena di sekolah favorit ya butuh penguasaan yang lebih tinggi di banding sekolah lain. itulah yang membedakan sekolah favorit dengan yang bukan favorit.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, penasaran saya menjadi-jadi. Sampai di rumah penasarannya tak hilang. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu kemudian saya mencoba untuk membuka kurikulum Sekolah dasar. Setelah bolak-balik dan cari sana-sini saya temukan file standar isi Pendidikan Agama Islam di Sekolah dasar. Saya coba buka standar isi untuk kelas I semester I. Alhamdulillah ketemu. Disana tercantum kompetensi dasarnya adalah : dapat melafalkan surat al fatihah.
Melihat ini saya jadi terkejut dan sekaligus heran. Kalau kompetensi dasarnya dapat melafalkan surat al-fatihah bukankah sudah tercapai jika anak bisa melafalkannya dengan lancar. Bukankah kompetensi yang dituntut tidak sampai pada menuliskan surat al fatihah?
Sampai saat ini, saya tidak tahu persis apa yang menyebabkan guru anak teman saya tersebut melakukan itu. Apa karena tidak membaca isi kurikulum atau mungkin tidak tahu isi kurikulum? Atau mungkin karena dalam buku (LKS) nya berbunyi begitu sehingga dia mengajarkannya demikian? Inikah yang disebut favorit?
Tidakkah guru anaknya teman saya tersebut menyadari dampak psikologisnya bagi anak, jika dia menolak hasil pekerjaan anak yang belum selesai yang itu diluar kemampuan anak? Bagaimana kalau anak itu sampai mogok terus dan tidak mau melanjutkan sekolah?
Barangkali ini saatnya melakukan perubahan, seiring dengan adanya sertifikasi guru mari kita kembali pada cara mengajar yang benar. Menjadikan kurikulum sebagai acuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar