Kamis, 03 April 2008

Aspek Moral Dalam Ujian Nasional

Harus diakui bahwa menghadapi pelaksanaan Ujian Nasional yang persyaratan lulusnya makin meningkat menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Siswa jelas khawatir jangan-jangan dia tidak lulus, pasti kena marah orang tua dan malu dihadapan teman. Orang tua khawatir anaknya tidak lulus, artinya sudah kehilangan sekian juta rupiah dan harga diri sebagai orang tua. Guru khawatir dianggap tidak profesional karena siswanya banyak yang tak lulus. Kepala sekolah pun tentu sangat khawatir karena bisa dianggap tidak bisa memimpin sekolahnya. Bahkan kepala Dinas dan Bupati/walikota sampai menteripun khawatir terhadap kelulusan ujian nasional.
Wajarkah ?
Sebenarnya kekhawatiran yang demikian sangatlah wajar, karena hal ini menunjukkan adanya rasa tanggungjawab. Yang menjadi persoalan adalah cara mensikapi kekhawatiran itu. Kekhawatiran yang disikapi secara positif akan melahirkan tindakan-tindakan positif, sebaliknya kekhawatiran yang disikapi negatif juga akan melahirkan tindakan negatif. Secara psikologis siswa yang khawatir berlebihan terhadap hasil ujian nasional malah bisa kontra produktif. Konsentrasi belajar bisa hilang, gugup menghadapi sesuatu dan bisa diprediksi kalau cara mensikapinya demikian kekhawatiran tidak lulus ujian itu malah akan terwujud benar-benar menjadi tidak lulus. Tindakan-tindakan negatifpun bisa terwujud akibat kekhawatiran yang berlebihan. Banyak kasus yang terungkap bahwa anak menyontek, mencari kunci jawaban ilegal, bahkan membayar joki ujian nasional adalah cara-cara nyata menghadapi ujian dengan kacamata yang negatif. Maksudnya baik dengan cara yang tidak baik.
Dampak negatif yang timbul akan menjadi lebih parah jika cara-cara negatif itu dilakukan oleh guru atau pejabat yang bertanggungjawab di bidang pendidikan. Beberapa kasus pada pelaksanaan ujian tahun-tahun lalu ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh guru yang ternyta ada sebagian diantaranya dilakukan sepengetahuan bahkan atas perintah resmi kepala sekolah atau kepala dinas bahkan juga pada beberapa daerah oleh penguasa tertinggi daerah. Dengan alasan menjaga gengsi meningkatkan rata-rata nilai atau rata-rata jumlah kelulusan dan ranking daerah cara-cara haram itu dilakukan.
Dampak moral
Kebijakan yang salah dan cara yang salah mensikapi pelaksanaan ujian nasional dengan melonggarkan pengawasan, mengkondisikan anak untuk bekerja sama atau bahkan memberikan kunci jawaban tidak saja mencoreng pelaksanaan ujian itu sendiri. Lebih jauh jika kita kaitkan dengan tujuan pendidikan yang menekankan pada pembentukan moral dan peningkatan kemampuan peserta didik maka perilaku -perilaku kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional itu justru kontradiktif dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Artinya bahwa jika kecurangan itu sengaja dilakukan maka secara ekstrim dapat dikatakan bahwa secara sengaja kita mengarahkan anak didik kita untuk memiliki moralitas yang bertentangan dengan tujuan pendidikan. Jikapun hasil ujian itu rata-rata nilai maupun kelulusan atau peringkatnya bagus ditingkat propinsi atau nasional itu adalah prestasi semu.
Resikonya memang sudah dapat diprediksi, nilai rata-rata mungkin akan turun atau prosentase kelulusan akan menurun apalagi peringkat tentu tidak bisa dipertahankan. Namun demikian apalah artinya peringkat, dan angka-angka yang tinggi jika ternyata itu semua adalah semu bahkan meracuni anak dan melatih anak sejak dini untuk tidak jujur.
Sekarang tantangan kita adalah ;BERANIKAH KITA SEMUA MELIHAT KENYATAAN INI?

1 komentar:

nyah wiek mengatakan...

Harus berani!!!! dan pasti berani. Hal yang terpenting dalam pendidikan adalah PROSES, bukan hasil. apalagi hasil "cantik" yang diperoleh dari "jurus cantik" ramuan kepsek yang "cantik"....