Minggu, 23 Desember 2007

Rancangan PP Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Senin, 03 Des 2007,Rancangan PP Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Daerah Otonom Bisa DihapusMenjelang ulang tahun ketujuh otonomi daerah, pemerintah pusat akan menerapkan perangkat baru untuk "mengendalikan" daerah. Meski agak terlambat, peraturan pemerintah (PP) yang ditargetkan berlaku mulai 2008 tersebut sekarang tengah intensif dibahas pemerintah. Apa konsekuensinya bagi daerah? Berikut ulasan Wawan Sobari dari the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).--------Pantas saja pemerintah bergeming atas berbagai kritik terhadap kebijakan pengelolaan anggaran daerah (Permendagri 13/2006 dan 59/2007). Bahkan, daerah-daerah yang meradang, terutama pemilik klub sepak bola, tidak begitu digubris. Ternyata, sedang ada agenda besar untuk mengevaluasi kinerja daerah. Melalui rancangan PP tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (EPPD), pemerintah menyiapkan perangkatnya. Pendapatan dan alokasi pembiayaan dalam APBD merupakan salah satu objek evaluasi. Draf yang terdiri atas 61 pasal ditambah lampiran setebal 20 halaman itu cukup ambisius. Secara normatif, tujuan PP tersebut adalah mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah. Yakni, untuk menjamin agar kewenangan yang didelegasikan kepada daerah berjalan efektif. Namun, tidak tertutup kemungkinan muncul sejumlah motif empiris yang bernuansa kepentingan pemerintah yang kuat. Dimensi TeknisSebagai satu sistem evaluasi, EPPD terdiri atas tiga evaluasi utama. Pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD). Kedua, evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD). Terakhir, evaluasi daerah otonom baru (EDOB). Masing-masing memiliki peruntukan yang berbeda. Hanya, ujung tombak pelaksanaan seluruh evaluasi itu terletak pada EKPPD.Pemerintah melakukan EKPPD untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil pengukuran EKPPD itulah yang nantinya menjadi dasar upaya peningkatan kinerja daerah. Sementara itu, EKPOD dilakukan untuk menilai kapasitas daerah dalam mencapai tujuan otonomi. Yaitu, pencapaian kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan publik, dan daya saing daerah.EDOB secara spesifik dilakukan pada daerah hasil pemekaran. Tujuannya, memonitor perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah baru. Semua aktivitas evaluasi secara nasional dijalankan timnas EPPD yang dibentuk presiden. Anggota tim tersebut adalah menteri-menteri lintas departemen terkait dan kepala lembaga nondepartemen yang diketuai Mendagri. Untuk menjalankan aktivitas keseharian, timnas dibantu tim teknis dari unsur-unsur institusi pemerintah tersebut. Dalam pelaksanaan evaluasi, timnas dibantu pakar dan lembaga independen yang berkompeten.Ujung tombak pelaksanaan evaluasi sebenarnya ada di tangan tim daerah EPPD di tingkat provinsi. Tugas utamanya adalah melakukan EPPD di seluruh kabupaten dan kota. Struktur keanggotaan tim daerah terdiri atas kepala dinas dan badan yang dibantu tim teknis. Tim itu tidak hanya mengukur kinerja kabupaten/kota, tetapi juga memeringkatnya. Uniknya, provinsi dan kabupaten/kota juga melakukan pengukuran kinerja mandiri atas penyelenggaraan kewenangan yang didelegasikan pemerintah.Evaluasi yang kali pertama dilakukan adalah EKPPD. Hasil evaluasi tersebut akan menjadi rekomendasi bagi pelaksanaan EKPOD atas dasar peringkat prestasi daerah. Bagi daerah-daerah yang dikategorikan berprestasi rendah selama tiga tahun berturut-turut, akan dilakukan EKPOD. Hasil EKPOD yang buruk bisa menyebabkan daerah dihapus dan digabung. Artinya, eksistensi daerah otonom akan berakhir bila EKPOD-nya minus.Potensi KelemahanBerdasar hasil analisis argumen kebijakan dalam draf PP tersebut, ditemukan sejumlah potensi kelemahan. Pertama, persoalan kredibilitas institusi pemerintah. Dalam praktiknya, proses EPPD tidak lebih dari sebuah evaluasi diri sendiri (self assessment). Sebab, intinya, pemerintah menjadi pemegang otoritas tunggal dalam rangkaian evaluasi. Meski keterlibatan lembaga independen dimungkinkan, perannya sebatas operator evaluasi.Masih dalam persoalan yang sama, pengukuran kinerja mandiri oleh provinsi, kabupaten/kota berpotensi bias evaluasi. Artinya, akan muncul potensi konflik kepentingan atas hasil evaluasi. Apalagi sumber utama dalam evaluasi tersebut adalah laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (LPPD) yang dibuat pemerintah daerah. Kalaupun ada sumber data pelengkap, tidak jauh berbeda karakteristiknya. Misalnya, dari LPJ pelaksanaan APBD, laporan kinerja instansi pemerintah daerah, dan sejenisnya.Posisi masyarakat sebagai sumber pelengkap dalam proses evaluasi menambah beban kredibilitas tersebut. Setidaknya ada tiga sumber yang berasal dari masyarakat. Yakni, hasil survei kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan publik, laporan lembaga independen atas kinerja pemerintahan daerah, dan tanggapan masyarakat atas informasi LPPD. Posisinya sebagai pelengkap tentu tidak sebanding dengan kehadiran masyarakat sebagai pihak yang paling merasakan dampak kebijakan. Namun, keuntungan dari sisi input proses evaluasi, tentunya pilihan kebijakan itu menyebabkan efisiensi dari segi biaya yang relatif bisa ditekan. Kedua, EPPD menawarkan konsep evaluasi yang relatif konvensional. Indikator yang mengukur capaian kinerja pemerintahan melalui penilaian masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak cukup sederhana (black box evaluation). Hasil evaluasi cenderung menghasilkan jawaban atas bekerjanya pemerintahan daerah semata. Sementara itu, penyebab pemerintahan bisa berjalan atau bekerja kurang mendapat perhatian. Padahal, penyelenggaraan pemerintahan bukan persoalan teknis administratif semata. Melainkan sebuah proses yang sensitif terhadap konteks politik dan sosial. Sebaliknya, fakta empiris yang ditemukan JPIP atas kinerja positif pemerintahan daerah tidak terlepas dari persoalan teknis tersebut. Lahirnya inovasi daerah juga merupakan kontribusi dari kuatnya komitmen politik kepala daerah, inovatifnya kepemimpinan kepala daerah, dukungan politik DPRD, terakomodasinya kepentingan birokrasi, dan beberapa faktor nonteknis lain. Faktor eksternal tersebut penting diperhatikan karena akan membantu pengidentifikasian kekurangan atau penyebab kegagalan kinerja. Dengan demikian, hal tersebut akan memudahkan upaya peningkatan kinerja pada masa datang. Terakhir, persoalan pembobotan. Selain mengukur, EPPD melakukan pemeringkatan. Konsekuensinya adalah pada kategorisasi prestasi daerah. Suatu daerah mungkin menduduki peringkat capaian kinerja sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Peringkat itu didasarkan pada kapasitas kinerja masing-masing daerah. Namun, secara bersamaan EPPD tidak menawarkan bentuk pembobotan yang bisa menimbulkan persoalan disparitas (perbedaan) antardaerah.Persoalanya, ketika otonomi daerah untuk kali pertama diterapkan, setiap daerah tidak berada pada titik start yang sama. Artinya, ada daerah yang sudah tergolong maju dan kaya inovasi, ada pula yang sebaliknya. Kalau semua daerah diukur dengan standar pengukuran sama, tanpa memboboti keadaan tersebut, hal itu akan berdampak pada keadilan pengukuran. (otonomi@jpip.or.id)

Sabtu, 22 Desember 2007

Simbok

Mbok, ...
Semangatmu,
senyummu
doamu
tawamu
adalah penghibur laraku
Mbok,
aku rindu padamu
aku rindu hangatnya pelukanmu
aku rindu telisik jemarimu di rambutku
aku rindu cerita ceriamu
aku rindu tanya kritismu
Mbok,...
Semoga Allah menerima semua amalmu
menerima tekun ibadahmu
Mbok,...
Doamu menyertaiku
Semoga aku bisa jadi anak ''gegadanganmu"
jadi pohon pengayoman
jadi suluh kegelapan
seperti pesan terakhirmu,...

Rabu, 19 Desember 2007

Selasa, 04 Desember 2007

Sasaran UN Bisa Gagal Model Bantuan Pemerintah Hanya Untungkan Sekolah Unggulan
Jakarta, Kompas - Salah satu tujuan ujian nasional atau UN sebagai pemetaan, yang diikuti peningkatan kualitas pendidikan, sebatas menguntungkan sekolah- sekolah papan atas. Sebab, umumnya sekolah semacam itulah yang mendapatkan nilai UN tinggi dan menerima keuntungan finansial untuk pengembangan sekolah.
Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai, Selasa (4/12), keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menggunakan data pemetaan hasil UN belum mencapai target sasaran. Keuntungan masih mengalir ke sekolah-sekolah papan atas atau unggulan.
Dia mencontohkan, sekolah- sekolah yang mendapat nilai rata- rata hasil UN baik dan cemerlang biasanya yang akan terpilih dalam program sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Terdapat syarat nilai rata-rata UN untuk menjadi peserta program itu. Sebagai tindak lanjut dari adanya label sekolah berstandar nasional dan internasional tersebut ialah terdapatnya bantuan khusus berupa dana yang terbilang besar.
Sebaliknya, sekolah yang masih tertinggal dan angka kelulusannya kecil justru kurang mendapat prioritas. Dia mencontohkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan secara merata terhadap seluruh siswa dan sekolah dengan jumlah yang sama per kepala. Bantuan lainnya berdasarkan proposal yang harus mengantre. Padahal, sekolah tertinggal butuh percepatan agar tidak tercipta disparitas terlalu tinggi.
"Dengan demikian, sekolah yang maju semakin maju. Sebaliknya, yang tertinggal semakin tertinggal," ujarnya.
Melihat keadaan itu, dia beranggapan pemerintah kurang konsisten dengan keinginannya agar UN menjadi pemetaan untuk peningkatan mutu pendidikan. Padahal, dengan UN seperti model yang dilaksanakan sekarang, anak yang menjadi korbannya. Anak lebih fokus ke bidang yang diujikan sehingga potensinya menjadi tidak tergali. Orangtua juga tak kalah stres dalam mendampingi anak dan mengeluarkan lebih banyak biaya untuk les tambahan serta bimbingan belajar di luar sekolah.
Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Suyanto menjelaskan, kucuran bantuan dana pendidikan pemerintah kepada sekolah-sekolah itu bersifat bantuan saja supaya sekolah minimal bisa memenuhi standar nasional. Setelah berstandar nasional, sekolah itu lalu ke depannya bisa bertaraf internasional.
"Sekolah yang bisa mencapai standar nasional bukan karena hasil UN-nya sudah baik, tetapi karena sekolah itu sudah bisa memenuhi standar pendidikan secara nasional. Jika sekolah sudah bagus, otomatis hasil UN-nya bagus," kata Suyanto. (INE/ELN)

Senin, 03 Desember 2007

Tips Bagaimana Mendelegasikan Tugas

Untuk anda para pemimpin dimanapun posisi anda, kami sajikan Tips bagaimana mendelegasikan tugas pada bawahan :

  1. Definisikanlah tugas-tugas yang harus didelegasikan.
    Definisikanlah dengan jelas batas-batas wewenang yang dilimpahkan kepada seseorang.
  2. Tentukanlah dengan jelas batas-batas wewenang yang dilimpahkan kepada seseorang.
  3. Jelaskan bagaimana, kapan, dan kepada siapa suatu tugas diserahi dan harus melaporkan kembali.
  4. Tentukanlah cara pengawasan.
  5. Pikirkanlah bagaimana orang itu harus disiapkan untuk tugas yang didelegasikan.
  6. Pendelegasian harus diikuti dengan kepercayaan bahwa saudara yang mendapat tugas itu dapat menyelesaikan tugasnya.
  7. Berikanlah penghargaan kepada mereka yang menyelesaikan tugas dengan baik karena penghargaan memberikan juga kesukaan, dan sekaligus adalah kunci keberhasilan dalam hal pendelegasian
    (diapdaptasi dari artikel dari Indolead)

Demokrasi Bukan Hanya Cara Semata

Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla di dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007, yang menjadi kesimpulan partai bahwa demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 26/11/2007), amat mengejutkan dan perlu dikoreksi. Karena bukan saja salah, tetapi bisa menyesatkan persepsi masyarakat tentang makna demokrasi yang sedang kita bangun di era Reformasi ini.
Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus-menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.
Jika hal itu dipahami, demokrasi tidak pernah boleh dinomorduakan di bawah tujuan yang luhur sekalipun (peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat) sebab hal itu berarti tidak/kurang memahami makna demokrasi, bahkan dapat menyesatkan dan membuka peluang bagi kembalinya cara-cara otoriter dan totaliter bahkan fasisme.
Sejarah politik dan ketatanegaraan kita selama paling tidak dua periode, yaitu Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998), telah memberikan pelajaran dari pengalaman empiris bangsa ini untuk tidak lagi dininabobokan alias diperbodoh dengan alasan demi mencapai tujuan yang luhur sebab ternyata tujuan yang luhur itulah yang dijadikan alasan pembenaran terhadap cara-cara otoriter dan represif yang digunakan pihak penguasa terhadap rakyatnya, yaitu tujuan menghalalkan cara (The end justifies the means). Itulah contoh nyata betapa salahnya pemikiran bahwa demokrasi hanyalah cara semata yang bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama, yaitu apa yang disebut "peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat" oleh pimpinan Partai Golkar, yang kebetulan adalah juga Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla.
Penghormatan HAM
Ada bahaya lain yang perlu diingatkan bahwa demokrasi itu memiliki roh atau inti yang tidak lain adalah hak-hak dasar dan asasi manusia, yang merupakan kriteria obyektif dan universal untuk menilai kemajuan peradaban sesuatu bangsa tidak terkecuali Indonesia.
Kita sudah berhasil memasukkan semua butir mutiara hak asasi manusia (HAM) di dalam Amandemen UUD 1945. Hal itu berarti juga bahwa kita sudah berkomitmen untuk membangun jiwa demokrasi dalam perspektif penghormatan kepada HAM.
Semakin demokratis suatu bangsa, akan pula semakin kokoh penghormatan kepada kemanusiaan ataupun kepada jaminan dan perlindungan HAM dan warga negara. Sebab demokrasi yang bernapaskan HAM akan menjamin eksistensi pluralisme dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara. Kita akan lebih mampu menghormati keberagaman, perbedaan pendapat, bahkan lawan-lawan politik.
Saya teringat ucapan Voltaire yang kurang lebih mengatakan "Saya berlawanan pendapat dengan Anda, tetapi saya akan lindungi hak Anda untuk hidup dan berbeda pendapat dengan saya." Jiwa demokratik inilah yang hilang dalam dua periode tersebut diatas, lebih-lebih dalam Orde Baru di mana orang yang berbeda pendapat dengan pihak penguasa bukan saja dianggap mbalelo melainkan lebih lagi, dianggap lawan yang harus dipinggirkan bahkan diculik, ditahan, dipenjarakan atau lebih dahsyat lagi dibunuh atau paling tidak hak perdatanya dimatikan.
Maka karena itu pernyataan Jusuf Kalla harus ditolak dan dikoreksi oleh kita semua para pejuang demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia di Tanah Air tercinta.
Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior

Kliping Koran

UN Banyak Kelemahan Sisi Metodologis Harus Diperbaiki
Jakarta, Kompas - Pelaksanaan ujian nasional di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan sehingga dirasa perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain. Salah satu kelemahan tersebut antara lain metodologisnya kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik.
Hal itu terungkap dalam seminar sehari tentang National Examination Authority bertema "Peranan Lembaga Otoritas Pengujian Nasional: Pelajaran dari Negara-Negara Lain" yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Senin (3/12).
Umumnya, di negara-negara yang mempresentasikan makalahnya, ujian bersifat nasional untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan. Hanya saja, pelaksanaannya tidak bersifat "vonis" siswa dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam kesempatan itu, pakar psikometri yang juga mantan Kepala Pusat Pengujian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jahja Umar mengatakan, negara yang maju sekalipun berkepentingan mengendalikan dan meningkatkan mutu lulusan sekolah dalam arti prestasi akademik pada mata pelajaran yang dianggap kunci.
Jahja menilai UN secara metodologis berkualitas rendah dan kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Sebagai contoh, skor hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan komparabilitas secara ilmiah. Selain itu, manajemen ujian tidak dilakukan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas di bidang pengujian.
Bukan vonis
Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Director Malaysia Examinations Syndicate Ministry of Education Mohammed Zakaria B Mohd Noor mengatakan, untuk murid sekolah dasar, ujian tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa.
Chief Executive Singapore Examinations and Assessment Board Tan Yap Kwang mengungkapkan, ujian secara nasional diselenggarakan agar murid mempunyai standar yang tinggi dan dilaksanakan lembaga khusus tanpa intervensi pihak luar.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas Burhanuddin Tola mengatakan, Balitbang hendak mencari masukan terkait perubahan kelembagaan, terutama lembaga pengendali mutu secara nasional dengan otoritas pengujian penuh. Negara-negara lain telah mempunyai lembaga itu. (INE) sumber : Kompas 4 Des 07

Sabtu, 01 Desember 2007

17 Hukum Kerjasama

1. HUKUM NILAI KERJASAMA
Satu adalah Jumlah yang Terlalu Sedikit untuk Mencapai Kebesaran
Apakah impian Anda? Impian Lilly Tartikoff adalah mengobati kanker. Ia bukanlah seorang ilmuwan -- ia juga tidak perlu menjadi ilmuwan. Yang perlu diketahuinya adalah Hukum Nilai Kerjasama.

2. HUKUM GAMBARAN BESARNYA
Sasarannya adalah Lebih Penting daripada Perannya
Apakah yang mendorong seorang mantan presiden Amerika Serikat untuk berkeliling dengan bis, tidur di lantai bawah tanah, dan melakukan pekerjaan kasar selama satu minggu? Jawabannya dapat ditemukan dalam Hukum Gambaran Besarnya.

3. HUKUM POSISI YANG TEPAT
Semua Pemain Memiliki Tempat Di Mana Mereka Paling Memberikan Nilai Tambah
Seandainya Anda adalah pemimpin dunia yang bebas, bagaimanakah Anda memutuskan, tugas apa yang harus Anda berikan kepada orang yang mampu mengerjakan tugas apapun -- termasuk tugas Anda sendiri? Kalau Anda ingin semua orang menang, tentu Anda akan menggunakan Hukum Posisi yang Tepat.

4. HUKUM GUNUNG EVEREST
Semakin Tinggi Tantangannya, Semakin Tinggi Kebutuhan akan Kerjasamanya
Tenzing Norgay dan Maurice Wilson adalah pendaki gunung yang berpengalaman dengan peralatan yang tepat. Lalu mengapakah yang satu meninggal di gunung sementara yang lain berhasil menaklukkannya? Hanya satu yang mengenal Hukum Gunung Everest.

5. HUKUM MATA RANTAI
Kekuatan Tim Dipengaruhi oleh Mata Rantainya yang Paling Lemah
Apakah menjadi soal, kalau ribuan karyawan Anda mengerjakan tugas mereka dengan baik dan hanya satu orang saja yang membuat kekeliruan? Tanyakan saja kepada perusahaan yang membayar lebih dari $ 3 milyar untuk ganti rugi dan terjerat oleh Hukum Mata Rantai.

6. HUKUM KATALISATOR
Tim-tim Hebat Memiliki Pemain-pemain yang Menjadikan Segalanya Terlaksana
Apakah yang akan Anda perbuat kalau tanggal 31 Desember sudah semakin dekat sementara armada penjualan Anda masih jauh di belakang sasaran mereka tahun itu? Dave Sutherland dapat menjelaskannya kepada Anda. Timnya mencapai sasarannya karena ia selalu mengamalkan Hukum Katalisator.

7. HUKUM KOMPAS
Visi Memberikan Arah serta Kepercayaan Diri kepada Para Anggota Tim
Presiden Enron baru tahu tentang usaha bernilai multijutaan dolar di perusahaannya dua bulan sebelum usaha tersebut diluncurkan, dan itu sama sekali tidak mengganggunya. Mengapa? Karena ia dan timnya menuai manfaat dari Hukum Kompas.

8. HUKUM APEL BUSUK
Sikap-sikap Busuk Merusak Tim
Mereka diharapkan menghancurkan persaingan. Mereka memiliki bakat serta ambisi untuk meraih kemenangan. Tetapi bukannya mendominasi, mereka malah merusak diri. Seandainya saja mereka tahu tentang Hukum Apel Busuk.

9. HUKUM KETERANDALAN
Rekan-rekan Satu Tim Harus Dapat Saling Mengandalkan Satu Sama Lain Dalam Soal-soal Penting
Mungkin orang takkan mati di organisasi Anda kalau seseorang menjatuhkan bolanya. Tetapi itu bisa terjadi pada orang-orang dalam bisnis keluarga ini. Itulah sebabnya Hukum Keterandalan ini demikian penting bagi mereka.

10. HUKUM BANDROL HARGA
Tim akan Gagal Mencapai Potensinya Kalau Tidak Membayar Harganya
Perusahaan ini seharusnya dapat menjadi pengecer terbesar di dunia. Ternyata perusahaan ini malah terpaksa menutup usahanya setelah 128 tahun berbisnis. Mengapa? Para pemimpinnya harus menanggung ganjaran akibat mengabaikan Hukum Bandrol Harga.

11. HUKUM PAPAN ANGKA
Tim Bisa Melakukan Penyesuaian Kalau Tahu Posisinya
Ribuan perusahaan berbasis Internet telah gagal. Banyak perusahaan yang "sukses" masih menunggu untuk membukukan keuntungan. Tetapi perusahaan yang satu ini terus menang dan tumbuh serta meraih keuntungan! Mengapa? Karena sedari awal perusahaan ini bermain menurut Hukum Papan Angka.

12. HUKUM PEMAIN CADANGAN
Tim-tim Hebat Memiliki Kedalaman
Siapakah yang biasanya menjadi Pemain Paling Berharga dalam sebuah organisasi? Direktur Utamanya? Pimpinan Puncaknya? Pramuniaga topnya? Percayakah Anda bahwa mungkin saja itu adalah seseorang dari Sumber Daya Manusia? Anda akan percaya kalau saja Anda tahu Hukum Pemain Cadangan.

13. HUKUM IDENTITAS
Yang Mengidentifikasikan Tim adalah Nilai-nilai yang Dijunjung Bersama
Bagaimanakah Anda membuat ribuan orang bersemangat bekerja di gudang- gudang, mengenakan seragam berwarna cerah, dan memenuhi setiap kebutuhan konsumen? Bernie Marcus dan Arthur Blank melakukannya dengan membangun landasan perusahaan mereka pada Hukum Identitas.

14. HUKUM KOMUNIKASI
Interaksi Mendorong Diambilnya Tindakan
Tim mereka telah sepuluh kali ganti pemimpin dalam kurun waktu sepuluh tahun. Para karyawannya kelelahan serta penuh dengan kepahitan, dan perusahaannya terus kehabisan uang. Jadi bagaimanakah Gordon Bethune akan menyelamatkan penerbangan yang paling ketinggalan ini dari kehancuran? Ia mulai dengan menggunakan Hukum Komunikasi.

15. HUKUM KEUNGGULAN
Perbedaan Antara Dua Tim yang Sama Berbakatnya adalah Kepemimpinannya
Tim mereka mengalami masalah besar. Para pesertanya memiliki segalanya yang mereka butuhkan untuk meraih sukses -- bakat, dukungan, sumber- sumber daya -- segalanya, kecuali hal yang paling penting. Satu- satunya harapan mereka untuk mengubah segalanya adalah seseorang yang memenuhi Hukum Keunggulan.

16. HUKUM MORAL YANG TINGGI
Kalau Anda Menang, Sakitnya Tak Terasa
Apakah yang mendorong seorang pria berusia lima puluh tahun, yang bahkan berenang saja tidak bisa, untuk terus berlatih demi mengikuti lomba triatlon yang paling berat di dunia? Bukan, bukan karena krisis paruh baya. Melainkan karena Hukum Moral yang Tinggi.

17. HUKUM HASIL INVESTASI
Investasi dalam Tim akan Berkembang dengan Berjalannya Waktu
Pernahkah Anda tertipu untuk menerima sebuah pekerjaan? Morgan Wootten mengalaminya, dan akibatnya, ia telah mengubah kehidupan ribuan anak. Kehidupannya yang diwarnai dengan sikap memberi akan mengajari Anda segalanya yang perlu Anda ketahui tentang Hukum Hasil Investasi.

(dukutip dari : indolead)

Rabu, 28 November 2007

Kliping Koran

Ketidakadilan dalam Pendidikan


Doni Koesoema A

Kritik bertubi-tubi itu sepertinya tidak mempan. Putusan pengadilan yang memenangkan tuntutan korban ujian nasional, protes guru, demo pelajar menolak UN, dan efek samping UN rupanya tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.

Lebih dari itu, pemerintah sebagai wakil rakyat bersikukuh melaksanakan UN etika kewarganegaraannya dipertanyakan sebab kebijakan itu melanggengkan praksis ketidakadilan dan melestarikan kebijakan pendidikan yang cacat secara moral.

Kegagalan dalam UN berarti tinggal kelas, mengulang setahun, atau penundaan masuk perguruan tinggi karena harus mengikuti ujian persamaan; ini memastikan setiap siswa telah memiliki kesempatan belajar yang sama dan mampu membuktikan apa yang dipelajari merupakan tolok ukur pasti.

Kesempatan belajar

Gagasan persamaan kesempatan belajar terkait ide akuntabilitas pendidikan. Akuntabilitas pendidikan bertujuan menilai dan memastikan, para siswa telah mengalami proses belajar secara adekuat sehingga mampu mengerjakan ujian standar. Premis dasar akuntabilitas pendidikan adalah jika semua siswa wajib mencapai patokan standar yang sama, mereka harus mendapat kesempatan belajar yang sama.

Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar memberi metode pengajaran berkualitas, materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.

UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa jelas akan memengaruhi kehidupan individu siswa. Karena UN memiliki dampak besar terhadap individu, ia harus memenuhi standar kelayakan evaluasi yang menghargai hak-hak individu.

Standar ini mensyaratkan adanya orientasi pelayanan, dengan evaluasi didesain sedemikian rupa sehingga membantu organisasi atau individu agar dapat melayani kepentingan peserta yang tercakup dalam target evaluasi, menjaga agar evaluasi dilakukan secara sah/legal, memenuhi standar moral, menghormati kesejahteraan mereka yang terlibat dalam evaluasi. Untuk menjaga kepentingan individu yang terlibat, evaluasi semestinya didesain agar melindungi hak-hak dan memberi kesejahteraan kepada individu itu.

Evaluasi pendidikan harus ada. Namun, UN yang tidak menjaga kepentingan dan memberi kesejahteraan kepada individu yang terlibat perlu dipertimbangkan ulang. Saat negara mengharuskan setiap siswa lulus UN (jika gagal akan mengalami penghinaan publik, dicap bodoh), tetapi gagal menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi siswa, kebijakan seperti ini hanya melestarikan tumbal-tumbal UN, tidak memberi kesejahteraan kepada individu, sebaliknya justru menghina individu di depan publik secara berkelanjutan. Karena itu, kebijakan pendidikan seperti ini tidak memiliki kredibilitas moral.

Ketidakadilan tingkat dasar

Perbedaan sarana dan prasarana pendidikan di kota besar, di pedesaan, dan daerah terpencil amat mencolok. Kita lihat anak-anak belajar di ruang kelas seperti kandang ayam atau di bangunan yang hampir roboh. Tidak nyaman. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang memengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar.

Dengan ketimpangan kesempatan belajar seperti ini, apakah pemerintah (pusat atau daerah) bisa menjamin pelecehan dan penghinaan publik atas individu tidak terjadi dengan memaksakan UN?

Jika kesempatan belajar yang sama itu telah ada dan siswa secara faktual menunjukkan telah belajar, tidak akan ada siswa yang tidak lulus. Namun, apa faktanya? Dalam setiap UN masih banyak siswa tidak lulus. Mereka tidak lulus karena lingkungan sosial dan sekolah tidak memberi kesempatan belajar yang sama.

Di balik agenda ujian

Logika baik di balik agenda ujian dan akuntabilitas pendidikan adalah setiap anak dapat kesempatan belajar yang sama, terbukti dengan praksis pengalaman belajar itu sendiri. Logika ini menuntut negara memberi layanan pendidikan berkualitas.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk memberi kesempatan belajar, terutama terhadap mereka yang tidak memiliki akses belajar. Tanpa perubahan kualitas layanan pendidikan, anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah miskin akan tersingkirkan. Mereka terancam tidak lulus secara berkelanjutan dan penghinaan publik yang diterimanya akan semakin besar.

Tidak mengherankan jika anak-anak yang tidak lulus UN ada yang memilih tidak mengulang, putus sekolah, karena tidak ingin martabatnya diinjak-injak dua kali. Jika ini terjadi terhadap siswa SD, kebijakan pendidikan kita benar-benar immoral sebab secara sengaja membiarkan anak-anak ini diinjak-injak martabatnya dan hancur masa depannya.

Melaksanakan kebijakan UN, apa pun bentuknya, dan memaksa anak untuk lulus, tetapi pemerintah gagal menyediakan akses dan kesempatan pendidikan yang sama merupakan kebijakan politik yang melanggar keadilan sosial. Lebih dari itu, membiarkan anak didik mengalami penghinaan publik berkelanjutan karena dipaksa gagal merupakan kebijakan politik pendidikan yang immoral dan tidak bertanggung jawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Selasa, 27 November 2007

Guru dan Kurikulum

Seorang teman yang kebetulan pejabat di Dinas Pendidikan cerita kalau anaknya keempatnya yang baru lulus TK yang dimasukkan di SD favorit di daerahnya mogok sekolah. Usut punya usut, ternyata marah pada guru yang menolak menerima hasil pekerjaan rumahnya yang belum seratus persen jadi.
Karena penasaran ingin mengetahui bagaimana guru dari sekolah favorit itu memberi PR pada anak iseng-iseng saya minta diperlihatkan jenis PR nya. Harapannya bisa belajar bagaimana guru sekolah favorit memberi tugas muridnya sehingga bisa nambah wawasan. Maklum sebagai pengawas sekolah kadang perlu memberi contoh kepada teman-teman guru.
Beberapa hari berikutnya ternyata teman saya tersebut memperlihatkan buku PR anaknya. Mata pelajarannya Agama Islam. Pekerjaan rumah yang diberikan kepada anak teman saya itu ternyata menulis surat Al Fatihah dalam bahasa indonesia. Sederhana bukan? Ya, memang tugas itu sangat sederhana untuk ukuran kita, karena hanya mengubah lafal al fatihah yang di luar kepala menjadi tulisan di buku. Tapi coba anda bayangkan bagaimana anak kelas I SD, yang belum genap satu bulan belajar harus mengerjakan tugas ini! Bukankah cukup sulit mengubah lafal huruf arab menjadi tulisan dengan huruf latin? Bukankah ini diperlukan kemampuan transliteracy yang baik? Lalu sejauh manakah penguasaan huruf anak kelas I sekolah dasar itu? Barangkali kita berfikir : karena di sekolah favorit ya butuh penguasaan yang lebih tinggi di banding sekolah lain. itulah yang membedakan sekolah favorit dengan yang bukan favorit.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, penasaran saya menjadi-jadi. Sampai di rumah penasarannya tak hilang. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu kemudian saya mencoba untuk membuka kurikulum Sekolah dasar. Setelah bolak-balik dan cari sana-sini saya temukan file standar isi Pendidikan Agama Islam di Sekolah dasar. Saya coba buka standar isi untuk kelas I semester I. Alhamdulillah ketemu. Disana tercantum kompetensi dasarnya adalah : dapat melafalkan surat al fatihah.
Melihat ini saya jadi terkejut dan sekaligus heran. Kalau kompetensi dasarnya dapat melafalkan surat al-fatihah bukankah sudah tercapai jika anak bisa melafalkannya dengan lancar. Bukankah kompetensi yang dituntut tidak sampai pada menuliskan surat al fatihah?
Sampai saat ini, saya tidak tahu persis apa yang menyebabkan guru anak teman saya tersebut melakukan itu. Apa karena tidak membaca isi kurikulum atau mungkin tidak tahu isi kurikulum? Atau mungkin karena dalam buku (LKS) nya berbunyi begitu sehingga dia mengajarkannya demikian? Inikah yang disebut favorit?
Tidakkah guru anaknya teman saya tersebut menyadari dampak psikologisnya bagi anak, jika dia menolak hasil pekerjaan anak yang belum selesai yang itu diluar kemampuan anak? Bagaimana kalau anak itu sampai mogok terus dan tidak mau melanjutkan sekolah?
Barangkali ini saatnya melakukan perubahan, seiring dengan adanya sertifikasi guru mari kita kembali pada cara mengajar yang benar. Menjadikan kurikulum sebagai acuan.

Pengelolaan Sekolah Kita

Saat ini pendidikan kita masih dihadapkan pada persoalan-persoalan seputar mutu pendidkan dan pmerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Mana yang lebih dulu perlu dipecahkan menjadi bahan perdebatan yang seru. Ada kelompok yang lebih mengedepankan pemerataan lebih dulu denga alasan keadilan, tetapi ada pula kelompok yang lebih mengutamakan mutu karena untuk mengejar ketertinggalan.
Sayangnya banyak praktisi pendidikan yang justru tidak melakukan dua-duanya. Meningkatkan mutu tidak dan memperluas pemerataanpun tidak.
Tengoklah ke sekolah, gali lebih dalam bagaimana sekolah dikelola. Pada awal tahun saat penerimaan siswa baru sekolah-sekolah yang berorientasi pada mutu mestinya sudah berani mengambil pilihan membatasi jumlah siswa yang diterima. Pembatasan ini tidak hanya didasarkan pada ketersediaan ruang kelas tetapi juga mempertimbangkan beban guru dalam mengajar. Pembatasan jumlah murid dalam satu kelas menjadi kelas kecil dengan jumlah yang memungkinkan guru bisa memberikan perhatian kepada murid adalah bukti konkrit orientasi sekolah pada mutu yang tinggi.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah : ada berapa sekolah yang sudah melakukan hal ini? Alasan yang dikemukan selalu saja tentang biaya. Alasan klasik. Penulis punya keyakinan kalau sekolah bisa membuktikan bahwa sekolah bisa memberikan nilai tambah yang nyata, orang tua pasti akan memberikan dukungan. Selama ini dukungan masih belum optimal karena orang tua merasa bahwa nilai tambah yang diberikan oleh sekolahpun belum optimal.
Kenyataan kedua yang bisa dijadikan indikator bahwa masih belum banyak sekolah belum berorientasi pada mutu bisa dilihat dari anatomi RAPBS/APBSnya. Tengoklah berapa prosen anggaran yang dialokasikan untuk buku perpustakaan, alat pelajaran, bahan praktek. Sudahkan pengalokasiannya berpihak pada peningkatan mutu? Kalau sudah lihatlah realisasinya. Apakah rencana anggaran itu sudah direalisasi sesuai rencana? Jika jawabnya sudah coba gali lebih dalam bagaimana pemanfaatannya, adakah upaya-upaya konkrit untuk itu?
Kita semua menyadari bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan. Core bisnisnya atau kegiatan pokoknya adalah PROSES PEMBELAJARAN. Inti proses pembelajaran adalah interaksi siswa dengan sumber belajar dengan guru sebagai fasilitator dan sumber belajar. Karena PROSES PEMBELAJARAN atau Kegiatan belajar mengajar adalah CORE BISNIS nya sekolah maka mestinya sumber daya sekolah diarahkan untuk memperbaiki kualitas kegiatan utama sekolah (KBM) itu. Kegiatan-kegiatan lain di sekolah adalah dalam rangka keberhasilan KBM. Berkaitan dengan tugas pokok sekolah yang demikian maka pertanyaan yang muncul adalah : berapa prosen waktu yang digunakan kepala sekolah yang diarahkan secara langsung untuk memperhatikan kualitas KBM? Pertanyaan yang lebih spesifik adalah berapa frekwensi kepala sekolah melukan supervisi sehingga dia tahu betul mana guru yang KBM nya berkwalitas dan mana yang belum? Bantuan profesional apa yang sudah dilakukan oleh kepala sekolah kepada guru untuk memperbaiki KBM? Punyakah kepala sekolah progres kemajuan kelas dalam KBM yang diupdate setiap saat? Berapa jam dalam satu hari di sekolah yang digunakan untuk mengikuti perkembangan peningkatan KBM?
Dari pengamatan sepintas (semoga pengamatannya salah) KBM sebagai core bisnis sekolah belum mendapatkan perhatian yang PROPORSIONAL oleh kepala sekolah. Bahkan pada beberapa kasus kepala sekolah lebih sibuk mengurusi yang lain-lain dibandingkan dengan perhatiannya kepada kegiatan belajar mengajar. Bahkan ada yang melimpahkan sepenuhnya KBM kepada wakil/urusan kurikulum.
Dari indikator-indikator ini barangkali cukup untuk mengatakan bahwa kita masih setengah hati meningkatkan mutu pendidikan. (BERSAMBUNG)

Beberapa Kelemahan Guru Dalam KBM

Tulisan ini bukan merupakan kesimpulan atas kinerja guru secara umum, tetapi hanyalah merupakan temuan penulis selama melaksanakan supervisi kunjungan kelas pada beberapa sekolah yang menjadi binaan penulis ditambah dengan pengamatan penulis pada saat mengikuti kegiatan lesson study MGMP Bahasa Inggris beberapa waktu yang lalu. Sengaja diberi judul demikian karena yang akan dipaparkan adalah kelemahan-kelemahan yang nyata ditemukan penulis. Hal ini dimaksudkan agar bisa menjadi input bagi para guru untuk memperbaiki kegiatan pembelajarannya.
Dari pengamatan penulis terhadap kegiatan pembelajaran di kelas dapat dikemukakan beberapa kelemahan antara lain :
1. Guru tidak menggunakan RPP sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran
RPP adalah skenario pembelajaran yang dibuat oleh guru sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai. Dalam dokumen tersebut tidak hanya berisi kompetensi apa yang akan dicapai tetapi juga memuat secara rinci berapa lama waktu tatap muka dilakukan. Bahkan dirinci pula berapa menit kegiatan awal untuk melaksanakan kegiatan rutin, apersepsi dan penjajagan untuk mengenal bekal awal siswa. Waktu yang digunakan untuk kegiatan inti, dan rincian waktu untuk kegiatan akhir.
Dalam RPP juga tercantum secara jelas alat bantu mengajar apa yang diperlukan dan sumber belajar apa yang digunakan. Demikian pula di dalam RPP juga telah dicantumkan rencana kegiatan penilaian yang merupakan upaya untuk mendapatkan umpan balik keberhasilan guru dalam mengajar.
Kenyataannya RPP tidak difungsikan, bahkan ada guru yang mengajar tanpa bertpedoman pada RPP. Hal ini menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak terarah.

2. Guru tidak mempersiapkan alat bantu mengajar.
Alat bantu mengajar sangat diperlukan untuk membantu guru dalam menjelaskan materi pelajaran, sehingga siswa mengetahui secara nyata melalui benda-benda yang nyata. Dengan alat bantu ini pengetahuan tidak hanya berupa verbal, dan bisa mengatasi kesenjangan komunikasi guru dengan siswa.
Kenyataannya guru tidak membawa alat bantu mengajar sehingga yang dilakukan hanyalah ceramah-dan ceramah saja.
3. Guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa.
Pengetahuan ten tang kemampuan awal siswa diperlukan oleh guru untuk menetapkan strategi mengajar, bahkan untuk mengajukan pertanyaanpun diperlukan pemahaman tentang kemampuan awal siswa. Dengan memahami kemampuan awal siswa ini guru dapat membantu siswa memperlancar proses pe,mbelajaran yang dilkukan dan memperkecil peluang kesulitan yang dihadapi siswa. Adakalanya satu materi tertentu memerlukan prasarat pengetahuan sebelumnya. Jika pengetahuan prasyarat ini belum dikuasi dan guru sudah melanjutkan pada materi berikutnya bisa dipastikan bahwa siswa akan kesultan mengikuti pelajaran. Hal ini bisa dideteksi melalui perilaku siswa. Siswa yang tidak dapat mengikuti materi yangs edang dibahas oleh guru cenderung berperilaku "menyimpang" seperti: melamun, menulis atau menggambar yang tidak ada hubungannya dengan materi pelajaran, berbicara sendiri atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak terkait dengan isi pembelajaran.
4. Penggunaan papan tulis yang kurang tepat
pada umumnya guru langsung memulai pelajaran tanpa menuliskan Pokok persoalan yang akan dibahas dan tujuan pembelajarannya. Penulisan pokok bahasan dan tujuan pembelajaran ini bergna sebagai kontrol bagi guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar agar tidak keluar dari jalur. Kecenderungan lainnya adalah penggunaan papan tulis yang kaacau. Siswa tidak tahu apa sebenarnya yang dibahas, dan untuk apa hal itu dibahas. Guru terlalu sibuk menulis dan membuat ilustrasi di papan tulis yang kadang-kadang sulit ditangkap siswa dan tidak disimpulkan.
5. Tidak melaksanakan evaluasi
Dengan alasan kekurangan waktu seringkali guru tidak melaksanakan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Evaluasi ini bertguna bagi guru untuk mengetahui seberapa besar keefektifan pembelajaran yang dilakukannya. Dengan melakukan evaluasi pada setiap akhir kegiatan /bahasan akan bisa mendeteksi siswa mana yang masih kesulitas dan pada bagian apa siswa merasa sulit. Hal ini akan sangat berguna bagi guru dalam membantu siswa
Apabila 5 macam kelemahan guru ini dapat diperbaiki, maka peoses pembelajaran akan menjadi lebih bermutu dan muaranya nanti pada hasil belajar yang lebih baik. Perubahan pada kelima kelemahan tersebut tidak memerlukan biaya. Yang diperlukan hanyalah kesadaran diri untuk memberikan yang terbaik kepada siswa. Kepala sekolah dapat berperan dalam perbaikan proses pembelajaran ini dengan cara lebih sering melaksanakan supervisi kunjungan kelas.

Beberapa Kelemahan Guru Dalam KBM

Tulisan ini bukan merupakan kesimpulan atas kinerja guru secara umum, tetapi hanyalah merupakan temuan penulis selama melaksanakan supervisi kunjungan kelas pada beberapa sekolah yang menjadi binaan penulis ditambah dengan pengamatan penulis pada saat mengikuti kegiatan lesson study MGMP Bahasa Inggris beberapa waktu yang lalu. Sengaja diberi judul demikian karena yang akan dipaparkan adalah kelemahan-kelemahan yang nyata ditemukan penulis. Hal ini dimaksudkan agar bisa menjadi input bagi para guru untuk memperbaiki kegiatan pembelajarannya.
Dari pengamatan penulis terhadap kegiatan pembelajaran di kelas dapat dikemukakan beberapa kelemahan antara lain :
1. Guru tidak menggunakan RPP sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran
RPP adalah skenario pembelajaran yang dibuat oleh guru sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai. Dalam dokumen tersebut tidak hanya berisi kompetensi apa yang akan dicapai tetapi juga memuat secara rinci berapa lama waktu tatap muka dilakukan. Bahkan dirinci pula berapa menit kegiatan awal untuk melaksanakan kegiatan rutin, apersepsi dan penjajagan untuk mengenal bekal awal siswa. Waktu yang digunakan untuk kegiatan inti, dan rincian waktu untuk kegiatan akhir.
Dalam RPP juga tercantum secara jelas alat bantu mengajar apa yang diperlukan dan sumber belajar apa yang digunakan. Demikian pula di dalam RPP juga telah dicantumkan rencana kegiatan penilaian yang merupakan upaya untuk mendapatkan umpan balik keberhasilan guru dalam mengajar.
Kenyataannya RPP tidak difungsikan, bahkan ada guru yang mengajar tanpa bertpedoman pada RPP. Hal ini menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak terarah.

2. Guru tidak mempersiapkan alat bantu mengajar.
Alat bantu mengajar sangat diperlukan untuk membantu guru dalam menjelaskan materi pelajaran, sehingga siswa mengetahui secara nyata melalui benda-benda yang nyata. Dengan alat bantu ini pengetahuan tidak hanya berupa verbal, dan bisa mengatasi kesenjangan komunikasi guru dengan siswa.
Kenyataannya guru tidak membawa alat bantu mengajar sehingga yang dilakukan hanyalah ceramah-dan ceramah saja.
3. Guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa.
Pengetahuan ten tang kemampuan awal siswa diperlukan oleh guru untuk menetapkan strategi mengajar, bahkan untuk mengajukan pertanyaanpun diperlukan pemahaman tentang kemampuan awal siswa. Dengan memahami kemampuan awal siswa ini guru dapat membantu siswa memperlancar proses pe,mbelajaran yang dilkukan dan memperkecil peluang kesulitan yang dihadapi siswa. Adakalanya satu materi tertentu memerlukan prasarat pengetahuan sebelumnya. Jika pengetahuan prasyarat ini belum dikuasi dan guru sudah melanjutkan pada materi berikutnya bisa dipastikan bahwa siswa akan kesultan mengikuti pelajaran. Hal ini bisa dideteksi melalui perilaku siswa. Siswa yang tidak dapat mengikuti materi yangs edang dibahas oleh guru cenderung berperilaku "menyimpang" seperti: melamun, menulis atau menggambar yang tidak ada hubungannya dengan materi pelajaran, berbicara sendiri atau kegiatan-kegiatan lain yang tidak terkait dengan isi pembelajaran.
4. Penggunaan papan tulis yang kurang tepat
pada umumnya guru langsung memulai pelajaran tanpa menuliskan Pokok persoalan yang akan dibahas dan tujuan pembelajarannya. Penulisan pokok bahasan dan tujuan pembelajaran ini bergna sebagai kontrol bagi guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar agar tidak keluar dari jalur. Kecenderungan lainnya adalah penggunaan papan tulis yang kaacau. Siswa tidak tahu apa sebenarnya yang dibahas, dan untuk apa hal itu dibahas. Guru terlalu sibuk menulis dan membuat ilustrasi di papan tulis yang kadang-kadang sulit ditangkap siswa dan tidak disimpulkan.
5. Tidak melaksanakan evaluasi
Dengan alasan kekurangan waktu seringkali guru tidak melaksanakan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Evaluasi ini bertguna bagi guru untuk mengetahui seberapa besar keefektifan pembelajaran yang dilakukannya. Dengan melakukan evaluasi pada setiap akhir kegiatan /bahasan akan bisa mendeteksi siswa mana yang masih kesulitas dan pada bagian apa siswa merasa sulit. Hal ini akan sangat berguna bagi guru dalam membantu siswa
Apabila 5 macam kelemahan guru ini dapat diperbaiki, maka peoses pembelajaran akan menjadi lebih bermutu dan muaranya nanti pada hasil belajar yang lebih baik. Perubahan pada kelima kelemahan tersebut tidak memerlukan biaya. Yang diperlukan hanyalah kesadaran diri untuk memberikan yang terbaik kepada siswa. Kepala sekolah dapat berperan dalam perbaikan proses pembelajaran ini dengan cara lebih sering melaksanakan supervisi kunjungan kelas.

Minggu, 25 November 2007

Kendal Juara II Tuntas Madya Lomba Wajar Dikdas Tingkat Propinsi Jawa Tengah

Kabupaten Kendal pada tahun 2007 berhasil menorehkan prestasi di Tingkat Propinsi sebagai Juara II Lomba Wajar Dikdas. Dengan APK 85,75 Kabupaten Kendal berhasil mengungguli Kabupaten 11 Kabupaten lain dalam pelaksanaan Wajar Dikdas.
Dalam lomba ini selain peningkatan angka partisipasi kasar (APK) yang termasuk unsur penilaian adalah manajemen wajar dikdas antara lain adalah : komitmen pemda dalam pelaksanaan wajar dikdas, upaya-upaya yang dilakukan oleh tim koordinasi serta bentuk-bentuk sosialisasi dalam rangka mensukseskan wajar dikdas.
dalam lomba ini keluar sebagai juara I adalah kabupaten Banjarnegara, disusul jauar II Kabupaten Kendal dan juara III kabupaten Pekalongan.
Penerimaan piala dan piagam dilaksanakan di Hotel Beringin Salatiga oleh Waklil Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah. Selain piala dan piagam juga diberikan hadiah berupa uang pembinaan masing-masing Rp. 30 juta untuk juaran I, 25 juta untuk juara II dan juara III mendapatkan 20 juta.

Kamis, 22 November 2007

Merumuskan Visi dan Misi

Ada dua orang pemimpin. Sebut saja Anwar dan Muksin. Anwar memimpin 500 orang. Demikian juga Muksin. Masing-masing merupakan pemimpin yang baik dan disukai. Anwar, sebagai kepala rumah sakit memimpikan agar ke 500 orang tadi akan menjadi orang-orang yang berjiwa wiraswasta dan bersama menghasilkan sebuah rumah sakit terbaik di negaranya. Muksin juga seorang kepala rumah sakit, bagi Muksin hal yang terpenting adalah agar rumah sakitnya stabil dan berjalan rutin.

Menurut Anda, apakah kualitas kedua pemimpin tadi berbeda?

Benarkah bahwa walaupun seorang pemimpin tidak mempunyai rumah, kendaraan, atau uang yang cukup, namun selama ia memiliki suatu visi dan misi yang jelas, orang ini masih lebih kaya daripada seseorang yang memiliki semua hal tadi, tetapi tidak memiliki visi apa-apa.

Untuk apa visi itu dibuat ?
Pernahkah Anda melihat seorang yang bekerja dengan energi yang besar, terus bergairah dan pantang menyerah bahkan ketika ia sudah beberapa kali mengalami kegagalan berturut-turut? Orang-orang seperti ini seringkali menghasilkan hal-hal yang menakjubkan. Contoh orang-orang seperti ini adalah Marco Polo, sang penjelajah yang berhasil mencapai Cina ketika orang tidak ada yang berani melakukan apa yang ia bayangkan. Contoh lain adalah Tomas Alfa Edison yang memimpikan adanya lampu pijar yang tahan lama. Selain itu ada pula tokoh seperti Madame Curie yang menemukan radium. Di zaman kini, kita mengenal orang-orang seperti Bill Gates, Steve Job, dan para perancang di perusahaan telpon Nokia. Di Indonesia, kita mengenal orang-orang seperti pak Ciputra. Ketika orang hanya melihat Ancol sebagai tempat terpencil dan tepi pantai yang tidak menarik, ia memimpikan suatu taman ria di sana. Kita mengenal juga orang seperti Ali Sadikin yang membuat Jakarta berubah dari kampung besar menjadi kota metropolitan. Juga orang-orang seperti Gus Dur, Mother Teresa, John Robbins, Al Gore, dan sebagainya. Semua orang-orang tadi hidup di zaman yang sama dengan kita. Seperti kita mereka melihat, mendengar, dan mengalami hal-hal yang sama dengan kita. Namun mereka tidak berhenti disana. Mereka melihat ke masa depan. Mereka membayangkan hadirnya sesuatu yang lebih indah, lebih unggul, lebih bermakna dan lebih berguna bagi banyak orang. Dengan kata lain, mereka memiliki visi atau impian. Visi itu membuat mereka dapat memfokuskan impian mereka untuk mewujudkannya. Visi ini membuat mereka terdorong bekerja keras dan pantang undur untuk mengejarnya. Mereka membuat dunia lebih baik, sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa.

Impian bukanlah suatu fantasi tentang masa depan yang muncul sebagai hasil angan-angan saja. Visi bukanlah suatu impian yang tidak ada dasarnya sama sekali. Contoh impian yang tidak berdasar adalah apa yang dimiliki oleh Budi. Budi memiliki impian untuk menjadi juara dunia gulat mengalahkan Hulk Hogan. Budi yang kini berusia 28 memiliki berat hanya 49 kilogram dengan tinggi badan 158 cm. Hobbynya adalah bermain catur. Kegiatan sehari-harinya adalah surfing di internet, berkuliah di bidang media design dan bermain catur. Budi memiliki visi yang lebih merupakan fantasi karena tidak berdasar pada kenyataan.

Apakah visi itu
Visi adalah suatu gambaran mental tentang apa yang akan hadir di masa depan. Disatu pihak, gambaran tadi berdasarkan pada apa yang merupakan kenyataan pada saat ini, namun sekaligus juga merupakan suatu lompatan. Seorang yang memiliki visi berarti memiliki suatu keyakinan bahwa hal itu dapat terjadi. Ia yakin bahwa sesuatu yang lebih indah, lebih bermutu dan lebih sempurna akan hadir di masa depan, dan ia dapat memainkan suatu peran untuk membuat hal itu terwujud.

Contoh hal itu adalah ketika Lee Kuan Yew mengajak rakyat Singapore untuk memimpikan suatu Singapore yang modern. Pada waktu itu keadaan masyarakat sedang guncang dan morat-marit karena pisahnya Malaya dari kesatuan Singapore - Malaya. Ia mengajak seluruh anak bangsanya untuk bekerja keras mewujudkan impian tadi, dan mereka berhasil. Dalam 20 tahun hasilnya sangat kentara. Impian Lee Kuan Yew memang menggemakan impian dari rakyatnya. Karena adanya impian tadi, maka rakyat bekerja keras dan bersedia mengurbankan banyak kenyamanan kelompok atau pribadi. Ketika Ir. Cacuk mengambil alih pimpinan Telkom, ia memimpikan Telkom yang bermutu dan profesional. Pada waktu itu, layanan Telkom sangat buruk. Ir. Cacuk bekerja keras dengan teamnya, dan sebagai hasilnya Telkom menjadi BUMN yang menguntungkan dan merupakan gudang orang bermutu. Tanpa Telkom seperti sekarang maka industri warnet, wartel dan berbagai koneksi tidak akan hadir.

Apa beda visi dengan misi?
Pertama, visi adalah gambaran mental. Kedua, visi juga adalah sesuatu yang ada di masa depan. Karena kedua aspek itu, maka visi seringkali bersifat abstrak, arah umum dan cenderung abstrak. Misi adalah perwujudan dari visi tadi. Bila visi adalah impian, maka misi adalah wujud atau bentuk dari impian tadi. Misalnya, impian Anda adalah memiliki sebuah pusat pembelajaran yang ikut membangun bangsa serta mensejahterakan banyak orang. Maka misi Anda mungkin mewujudkan suatu lembaga pelatihan kewiraswastaan. Dapat juga misi Anda adalah mewujudkan suatu universitas yang khusus mendidik orang untuk menjadi manager profesional yang baik. Misi juga dapat merupakan rumusan apa yang secara nyata Anda akan lakukan untuk menghasilkan impian tadi.

Peran Visi dan Misi
Jadi, visi dan misi membuat pemiliknya terdorong untuk memfokuskan hidup mereka. Visi dan misi yang tajam bahkan dapat ditawarkan untuk menjadi visi dan misi bersama (shared-vision). Dengan visi bersama, maka semakin banyak orang yang berpartisipasi untuk mencurahkan energinya untuk mewujudkan hal tadi. Fantasi tidak akan memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang serupa itu karena fantasi tidak dimulai dari kenyataan yang diterima bersama melainkan kenyataan yang dihayati secara pribadi saja.

5 jenis manusia berdasarkan visinya
Setelah menyadari makna visi dan misi tadi, maka perlu kita kenali bahwa sekurangnya ada lima jenis manusia dalam berurusan dengan visi dan misi.

Pertama adalah adanya orang yang tidak mengetahui bahwa visi dan misi adalah penting. Mereka menyibukkan diri dengan tugas dan kegiatan rutin sehingga hidupnya merupakan rangkaian dari suatu aktifitas ke aktifitas lain tanpa didasari kejelasan arah. Mereka hidup dan bekerja tanpa desain dasar. Jadi, mereka adalah bagaikan tukang bangunan yang sibuk mendirikan rumah tanpa kejelasan gambaran rumah yang ingin dihasilkannya. Mereka adalah bagaikan sepasukan tentara yang terus-menerus terjun ke suatu wilayah tanpa mempertimbangkan bahwa bila mereka memiliki suatu landasan pesawat terbang, mereka dapat berada disana tanpa terlalu sulit.

Jenis manusia kedua adalah manusia yang mengetahui bahwa visi dan misi adalah hal yang sangat penting untuk mencapai sukses. Namun mereka tidak kunjung menyediakan waktu untuk memikirkan dan merumuskan visi serta misi pribadi bahkan juga tidak merumuskan visi dan misi organisasinya. Hanya bila segala sesuatunya dirasakan berjalan ke arah yang tak menentu baru mereka mempercakapkan perlunya kehadiran visi dan misi tadi.

Jenis manusia yang ketiga adalah orang yang menyadari pentingnya visi dan misi, telah berusaha menyusun rumusannya, namun karena metodenya keliru dan pemahamannya terbatas, maka visi dan misi tadi kekurangan suatu aspek penting. Visi dan misi tadi tidak menghasilkan hal yang bermanfaat bagi orang banyak.

Jenis manusia yang keempat adalah manusia yang lebih bermutu. Mereka menyadari, mengupayakannya, serta memiliki metode yang benar sehingga memiliki rumusan visi dan misi yang baik. Namun mereka belum memiliki bekal yang cukup dan cocok untuk menggapai visi tadi.

Jenis manusia yang kelima adalah manusia yang berhasil mewujudkan visi dan misinya setelah mengumpulkan bekal yang diperlukannya setelah mereka menjadi manusia yang keempat

Berapa pentingkah adanya visi dan misi tadi untuk diri kita, untuk keluarga dan untuk organisasi kita?

Pertama, visi dan misi akan menolong kita untuk menyusun cara mencapai atau strategi menggapainya.

Contohnya:

Kedua, visi dan misi kita akan menolong merumuskan prioritas bahkan menghindarkan kita melakukan apa yang tidak berguna bagi pencapaiannya. Dengan demikian kita hidup dengan efektif dan efisien. Berbagai godaan dan pilihan yang menyimpangkan kita dari arah kita dapat ditolak karena kita memiliki kriteria yang jelas.

Ketiga, adanya visi dan misi yang jelas akan mempermudah kita menginspirasikan orang yang ada bersama kita untuk mengejar dan mewujudkannya. Mereka memiliki kepastian kemana kita pergi dan kemana kita tidak akan berjalan.

Keempat, adanya visi dan misi menolong kita untuk mengevaluasi diri apakah kita sudah mendekati atau menjauhi visi dan misi tadi. Kita dapat juga mengevaluasi kecepatan gerak kita ke arah yang kita tuju. Hal ini sama seperti ketika seorang penjelajah kutub utara yang dapat mengukur berapa jauh ia sudah berjalan menuju kutub.

Bagaimana mulai menyusun visi dan misi pribadi?

Membuat atau menyusun visi dan misi dimulai dengan memandang realita yang ada secara objektif. Orang mau menyusun visi dan misi ini mulai dengan mempertanyakan dirinya beberapa hal yang penting seperti: "Siapakah aku ini, dari mana aku datang, bagaimana riwayat atau masa laluku, apakah hal-hal yang paling bermakna bagiku, dan hal-hal apa yang orang anggap aku lakukan dengan baik." Kemudian ia juga mempertanyakan lebih lanjut apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan-kelemahannya. Selanjutnya, barulah ia mempertanyakan apa yang ia yakin dapat dan patut hadir di masa depannya, berdasarkan dengan kenyataan yang kini ia miliki.

Ciri-ciri Visi dan Misi yang baik

Karena itu, sebelum membuat rumusan visi, maka kita harus mengenali ciri-ciri visi dan misi yang baik. Dengan visi dan misi seharusnya akan menjadi dasar inspirasi bagi banyak orang, maka visi dan misi ini harus

a. Singkat - sehingga mudah diingat dan dipahami

b. Konsepnya harus sederhana dan padat sehingga orang yang sederhanapun tidak mengalami kesulitan untuk memahaminya

c. Karena orang banyak memiliki aspek emosi, nalar dan perilaku, maka visi dan misi tadi harus mampu menyentuh emosi orang dan menjadi tumpuan yang mengilhamkan.

d. Selain itu, visi dan misi tadi harus mudah diingat dan karenanya harus menimbulkan gambaran mental. Misalnya, misi untuk menghasilkan sebuah komputer sederhana untuk tiap rumah digambarkan sebagai memberikan stop kontak bagi tiap rumah

MANAJEMEN

Manajer Sukses vs Manajer Efektif
15 Aug 2002 00:00


Ir. Bambang Adi Subagio, M.M.

Mana yang lebih penting, menjadi manajer sukses atau menjadi manajer efektif? Jika dihadapkan pada pertanyaan ini mungkin Anda sedikit bingung. Apakah manajer efektif tidak otomatis menjadi manajer sukses? Bukankah seseorang manajer disebut sukses karena dia efektif? Nah sebelum ngelantur lebih jauh sebaiknya kita menyamakan bahasa terlebih dulu. Manajer sukses adalah manajer yang mempunyai indeks sukses di atas rata-rata manajer lainnya, di mana indeks sukses merupakan rasio antara tingkat manajerial yang berhasil dicapai dan masa kerja. Manajer efektif, di lain pihak, adalah manajer yang berhasil mencapai prestasi kerja tinggi dibanding dengan standar yang telah ditentukan, serta mampu melakukan pekerjaan melalui orang lain dengan tingkat kepuasan dan komitmen yang tinggi. Dalam kenyataan memang tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang manajer sukses sekaligus juga menjadi manajer efektif. Namun karakteristik kedua jenis manajer ini tetap dapat dibedakan.

Tahukah Anda tugas atau pekerjaan manajer pada umumnya? Jawaban yang paling populer mungkin adalah POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Maka tidak heran apabila Anda juga menjawab demikian. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kurun waktu yang cukup lama - sejak Henri Fayol mengemukakan pemikirannya yang sangat terkenal ‘The five Fayolian functions of management’ (Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling) - para manajer sejagad meyakini (atau diyakinkan) bahwa tugas atau pekerjaan manajer hanya melakukan kelima fungsi manajemen tersebut. Namun berdasarkan penelitian beberapa pakar manajemen, di antaranya Henry Mintzberg, John Kotter dan Fred Luthans diperoleh gambaran yang lebih komprehensif bahwa tugas manajer sebenarnya tidak hanya melakukan kelima fungsi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Fayol tersebut.

Mintzberg mengatakan bahwa pekerjaan manajer terdiri dari banyak pekerjaan pendek (brief) yang tidak selalu berkesinambungan (disconnected) dan mereka sering terlibat dalam hubungan dengan banyak orang, baik di dalam maupun di luar organisasi. Lebih jauh dikatakan pula bahwa manajer mempunyai banyak peran dan mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Dalam hal hubungan interpersonal, manajer berperan sebagai figur kepala, pemimpin dan penghubung. Dalam hal informasional mereka berperan sebagai pengawas, penyebar informasi dan juru bicara. Kemudian sebagai pengambil keputusan mereka berperan sebagai wirausaha, pemecah masalah, pengalokasi sumber daya, dan negosiator.

John Kotter dari Harvard Business School menambahkan bahwa pekerjaan manajer tidak hanya melulu melakukan ‘Fayolian functions’. Lebih dari itu para manajer menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, melalui pertemuan-pertemuan guna mendapatkan dan/atau memberi informasi, yang oleh Kotter disebut sebagai ‘membangun jejaring (networking)’. Melalui cara ini manajer dapat membuat ‘agenda’ sebagai hasil kompromi, serta sedikit melonggarkan kekakuan di antara mereka yang kadang-kadang terjadi karena masing-masing mempunyai sasaran berbeda.

Manajer Sukses vs Efektif : Empat Aktivitas Manajerial

Yang terakhir adalah penelitian oleh Fred Luthans dari University of Nebraska, Lincoln. Luthans mengelompokkan pekerjaan manajer dalam empat aktivitas manajerial sebagai berikut:

Komunikasi, yaitu aktivitas yang meliputi pertukaran informasi secara rutin dan pemrosesan pekerjaan tulis-menulis.
Manajemen tradisional, yaitu aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pengambilan keputusan dan pengendalian.
Manajemen sumber daya manusia, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan aspek perilaku, misalnya motivasi/pemberian dukungan, pendisiplinan/penghukuman, manajemen konflik, staffing, dan pelatihan/pengembangan.
Jejaring (networking), yaitu aktivitas yang meliputi sosialisasi/berpolitik, berinteraksi de-ngan pihak luar, serta hal-hal ‘chit chat’ lainnya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Luthans dapat dikatakan menampilkan uraian tentang pekerjaan manajer yang paling lengkap dibanding Fayol, Mintzberg dan Kotter. Diskripsinya mencakup pendapat klasik dari Fayol (aktivitas manajemen tradisional), aktivitas komunikasi dari Mintzberg dan aktivitas jejaring dari Kotter. Tambahan dari Luthans yang cukup penting dan melengkapi adalah aktivitas manajer pada manajemen sumber daya manusia.

Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para manajer sukses dan manajer efektif, Luthans melakukan penelitian terhadap 248 manajer. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu dan tenaga mereka digunakan pada aktivitas komunikasi, sekitar sepertiga pada aktivitas manajemen tradisional, seperlima pada manajemen sumber daya manusia dan kurang-lebih seperlima pada aktivitas jejaring.

Selain melakukan penelitian secara umum tentang aktivitas manajer, Luthans juga melakukan penelitian secara khusus untuk mengamati apa yang dilakukan oleh kelompok manajer sukses dan juga apa yang dilakukan oleh kelompok manajer efektif. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut mempunyai pola aktivitas manajerial yang berbeda.

Pada kelompok manajer sukses, terlihat nyata bahwa mereka mengalokasikan waktu dan tenaga paling banyak pada aktivitas jejaring (48%). Selanjutnya aktivitas komunikasi berada di urutan kedua (28%), manajemen tradisional di urutan ketiga (13%) dan sumber daya manusia adalah aktivitas yang alokasi waktunya paling sedikit (11%). Hal ini menunjukkan bahwa - dengan menggunakan kecepatan promosi sebagai ukuran sukses - manajer sukses lebih banyak menggunakan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk bersosialisasi, berpolitik, dan berinteraksi dengan pihak luar dibandingkan dengan rekannya yang kurang sukses. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa manajer sukses tidak banyak menggunakan waktu dan tenaganya pada aktivitas manajemen tradisional atau pada manajemen sumber daya manusia.

Pada kelompok manajer efektif, aktivitas yang mendapat perhatian paling besar adalah komunikasi (44%), kemudian manajemen sumber daya manusia (26%), selanjutnya manajemen tradisional (19%), dan yang terakhir jejaring (11%). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa kontribusi relatif terbesar bagi manajer efektif berasal dari aktivitas yang berorientasi pada aspek manusia, yaitu komunikasi dan manajemen sumber daya manusia. Dengan sendirinya berarti pula bahwa bagi manajer efektif, aktivitas yang berkaitan dengan pembinaan jejaring kurang diprioritaskan, sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manajer sukses.

Uraian di atas barangkali dapat Anda gunakanan sebagai acuan, atau setidak-tidaknya inspirasi, untuk mengembangkan karir Anda di masa depan - mau menjadi manajer sukses atau manajer efektif. Kalau mau menjadi manajer sukses, perluaslah jejaring dan keterampilan berkomunikasi, sedangkan bila ingin menjadi manajer yang efektif, asahlah kemampuan komunikasi dan penguasaan akan manajemen sumber daya manusia.

Melalui tulisan ini mudah-mudahan Anda mendapat inspirasi dan dapat menarik manfaat untuk memilih apakah Anda akan menjadi manajer sukses atau efektif, atau bahkan keduanya - sukses sekaligus efektif. (sumber:http://www.lppm.ac.id)

Rabu, 21 November 2007

Supervisi Guru Bantu

Atas dukungan LPMP jawa Tengah, pada bulan Agustus sampai Desember Nanti selain melaksanakan tugas rutin melaksanakan supervisi disekolah saya juga melaksanakan pendataan dan supervisi guru bantu.
Pendataan sudah tuntas saya lakukan. Tetapi supervisi belum semuanya selesai. Pada tahap awal saya hanya melihat bagaimana guru bantu di sekolah binaan saya mempersiapkan administrasi mengajar, kemudian pada tahap berikutnya saya menilai kwalitas adminstrasi mengajar dan kemudian melihat bagaimana penampilan mereka di depan kelas.
Sejauh ini ternyata cukup banyak yang tidak siap ketika saya tanyakan administrasi mengajarnya. baru pada kunjungan kedua mereka menyerahkan adminstrasi mengajar yang seharusnya menjadi kewajiban mereka itu. Itupun ada sebagian yang terpaksa harus datang sendiri menyerahkan administrasi mengajarnya ke kantor saya karena pada saat kunjungan saya yang kedua belum menyiapkan.
Dengan menggunakan IPKG (instrumen Penilaian Kinerja Guru I) saya melakukan penilaian terhadap administrasi mengajar mereka. Hasilnya banyak yang masih di bawah skor 3 dari rentang nilai 1 s.d 4. Itupun saya sudah tidak mempertimbangkan lagi apakah dokumen itu hasil kerja sendiri atau bukan.
Ketika melihat penampilan di depan kelas, ternyata administrasi itu seperti RPP bukan menjadi pedoman. bisa dibayangkan bagaimana kondisi KBM nya.
Namanya juga supervisor, maka dengan gaya santai mereka saya ajak ber refleksi untuk menemukan kekurangan-kekurangan sendiri dan cara memperbaikinya. Kadang-kadang saya juga harus banyak ngomong untuk meluruskan mis konsepsi pengajaran yang menjadi pengetahuan mereka.
Memang harus sabar, andai saja kepala sekolah-kepala sekolah itu mau lebih perhatian pada KBM, saya kok yakin pendidikan ini akan lebih maju.

BERHATI PELAYAN

person high in SQ is also likely to be a servant leader – someone who is responsible for bringing higher vision and value to others and showing them how to use it, in other words a person who inspire others.
– Danah Zohar dan Ian Marshall

“Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,” demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam Corporate Culture and Performance (1992). Kalimat pendek itu menegaskan kembali adanya hubungan yang sangat erat antara kepemimpinan (leadership) dengan pelayanan (service). Agar seorang pemimpin sejati tidak beralih wujud menjadi tiran dan/atau diktator yang suka memaksakan kehendak kepada konstituen yang mengikutinya, maka perlu dipastikan bahwa ia memiliki hati yang senang melayani.

Kotter dan Heskett tidak mengajarkan hal yang sama sekali baru. Sebab bila kita mempelajari dengan seksama berbagai konsep kepemimpinan yang berkembang dalam 50 tahun terakhir, maka akan kita temukan bahwa konsep kepemimpinan yang melayani pernah digagas secara lebih mendalam oleh almarhum Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika. Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership (1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, “… the great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness”. Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan “servant first” dan bukan “leader first”. Seorang pemimpin biasa menjadi pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar, terutama Islam dan Kristiani, namun mungkin juga Hindu, Konfusianisme, maupun Buddhisme. Tak seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi). Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri mereka sebagai “pelayan”, khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah “mengutus” mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, entah sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei atau apa pun.

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran “sesat” yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai “eksperimentasi” dalam memposisikan manusia (meminjam uraian Yasraf Amir Piliang di Kompas, 13/12/2001; hlm.4-5) sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau, atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.

Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari “kasta tertinggi” sementara konstituennya adalah “kasta terendah” yang harus menerima diperlakukan sebagai “alat”, “organ”, atau “obyek”. Pandangan ini “berhasil’ melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, “barat”, “timur”, dsb).

Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu “mengaudit” kembali “citra diri” (self image) para pemimpin kita. Kita harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai “manusia unggul”, “manusia superior”, manusia yang merasa “can do no wrong”. Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Khalifatullah atau homo Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan bertakwa kepada Sang Pemimpin semata.

Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus mempertanggungjawabkan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi.

Pada titik ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci agama-agama, manusia kita pahami sekurang-kurangnya sebagai spiritual-moral being, emotional-social-rational being, dan sekaligus physical being. Dengan pemahaman yang demikian kita dapat bersetuju dengan kajian Spiritual Intelligence-nya Danah Zohar dan Ian Marshall dan para pakar SQ lainnya dalam arti kecerdasan spiritual merupakan fondasi bagi berbagai macam jenis kecerdasan lainnya (kecerdasan emosional/EQ maupun kecerdasan intelektual/IQ). Kita dapat menerima pernyataan bahwa SQ adalah “the ultimate intelligence” , karena ia bertalian dengan conscience, life compass, “the hidden, inner truth of the soul”, “sesuatu” yang seharusnya mengarahkan akal budi dan perilaku manusia lebih dari apa pun.

Sejumlah “Indikator”
Benarkah para pemimpin yang berhati pelayan (the servant leader) telah hilang dari negeri ini? Bagaimana kita “mengukur” hati para pemimpin kita? Ini hal yang amat sulit, seperti kata pepatah “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”. Namun, sekali pun sulit, Greenleaf memberikan beberapa “indikator” untuk disimak. Pertama, apakah mereka (pemimpin) yang melayani konstituen (rakyat) bertumbuh menjadi lebih manusiawi? Kedua, apakah mereka (pemimpin), menjadi lebih sehat, lebih bijak, lebih bebas, lebih otonom, lebih menyerupai diri mereka dengan menjadi pelayan bagi kontituennya (rakyat)? Ketiga, apakah dampaknya bagi masyarakat; apakah masyarakat memperoleh manfaat, atau, paling sedikit, tidak lebih dirugikan? Keempat, apakah para pemimpin kita memenuhi kriteria untuk disebut sebagai “orang beriman” (have faith)?

Dengan meletakkan sejumlah “indikator” itu dalam konteks Indonesia ––sambil mengingat kasus Aceh, Papua, Ambon, Poso, Buloggate II, Tommy Soeharto, implementasi otonomi daerah, peristiwa banjir, dan lainnya–– kita mungkin dapat bertanya: apakah para pemimpin kita nampak lebih manusiawi, lebih menunjukkan tanda-tanda fungsionalnya hati nurani mereka dalam menyikapi masalah-masalah tersebut?; apakah para pemimpin kita lebih jujur menjadi yang terbaik dari diri mereka sendiri?; apakah para pemimpin kita melaksanakan amanat reformasi total, terutama di bidang penegakkan hukum (pemberantasan KKN), bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta lingkungan hidup?; apakah rasa aman dan rasa keadilan bertumbuh ke arah yang lebih baik?; dan apakah cukup alasan untuk mengatakan bahwa para pemimpin kita bukan hanya “beragama” tetapi juga cerdas-bijak secara spiritual?

Terus terang, saya khawatir kritik Prof. M.T. Zen masih relevan hingga kini. Guru Besar ITB ini pernah berkata, “Di Indonesia Departemen Kehutanan merusak hutan, Departemen Pendidikan menghancurkan pendidikan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Perundang-undangan), dan para pengacara yang seharusnya bekerjasama menegakkan hukum, malah justru memperkosa hukum”. Dan kalau benar demikian, apakah menunggu lahirnya para pemimpin yang berhati pelayan seperti menunggu Godot? Sumber : Pembelajar.com

* Andrias Harefa adalah pembelajar sekolah kehidupan. Ia adalah penulis buku-buku best seller dan inisiator website Pembelajar.com dan. Andrias dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

Arsip Berita Koran

Drs H Utomo MPd, Diganti


BAGI pegawai negeri, mutasi, rotasi, atau pun diganti, merupakan sebuah kata yang memiliki makna yang kurang lebih nyaris sama artinya. Dipindahkan ke tempat/pekerjaan yang berbeda dari posisi sebelumnya. Itu terjadi pada diri Drs H. Utomo MPd. Sejak beberapa waktu yang silam, dia dimutasi dari Kasubdin Pendidikan dan Pengajaran menjadi Pengawas mata pelajaran MIPA. Selain dimutasi ke tempat baru yang ‘memprihantinkan’, Utomo yang dikenal sebagai sosok pejabat pekerja keras ini pun harus kehilangan jabatan satunya lagi, yakni dicopot sebagai Manajer Dana Operasional Sekolah (BOS). Sebagaimana SK Bupati Kendal, mulai tahun ini posisinya digantikan oleh rekannya Ibnu Darmawan SPd, Ka TU Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal. Tapi bagi Utomo pergantian tersebut, merupakan hal yang wajar saja. Apalagi kewenangan tersebut sepenuhnya berada di tangan atasannya H Mulyadi SH, MM. “Tidak masalah, di mana pun ditempatkan, saya siap mengabdi all out bagi kemajuan pendidikan di Kabupaten Kendal,” ujarnya santai tatkala ditemui, Kamis (26/1) kemarin. (cw9)

Arsip berita koran

Mutasi Utomo Disesalkan


KENDAL- Mutasi Kepala Subdinas Pendidikan dan Pengajaran (Kasubdin PP) Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal, Drs H. Utomo MPd, amat disesalkan komunitas pendidikan di Kendal. Pasalnya, mereka merasa sukar sekali mencari sosok pejabat seperti Utomo yang dikenal sebagai pekerja keras, bersih, disiplin, cerdas, pintar dan tidak mata duwitan. Puluhan PNS baik yang di Subdin PP maupun Subdin lainnya ketika ditemui Radar, Rabu (21/12) mengatakan, pemindahan Utomo dari Subdin PP ke Pengawas, sama saja dengan mengkotak karier yang bersangkutan. “Kami tidak mengetahui, sebenarnya pendidikan di Kendal ini mau dibawa ke mana, sih. Apa salah Pak Utomo. Mengapa orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya malah dimutasi,” ujarnya tak habis pikir. Sudah bukan rahasia lagi, keberhasilan dan nafas Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal, amat diwarnai kiprah Kasubdin PP. Dalam bekerja Utomo, tidak pernah menanyakan, berapa imbalan yang akan diterimanya. Bila perlu, dia siap menggunakan uang pribadi. Berkat perjuangannya ini pula Kendal berulangkali berhasil menorehkan prestasi siswa maupun guru, di tingkat propinsi dan nasional. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal Mulyadi SH MM yang paling mengetahui alasan pemindahan Utomo, tidak berada di kantornya. Menurut stafnya, Rabu pagi pukul 05.00, Mulyadi berangkat menunaikan ibadah haji bersama istrinya dengan menggunakan ONH Plus. Utomo yang merangkap sebagai Sekretaris Dewan Pendidikan serta Manajer BOS, digantikan Kabag Humas Drs H. Muryono SH, MPd. Utomo yang dimintai komentarnya, berulangkali menyatakan, kesiapannya dipindah ke manapun, sesuai keinginan atasannya. Seorang PNS yang baik, bukan minta atau menanyakan akan di tempatkan di mana kelak, melainkan apa yang dapat dilakukan semaksimal mungkin untuk memajukan dunia pendidikan. Di manapun dia diletakkan. (cw9) Sumber: Radar Pekalongan online

Arsip Berita Koran

Ka Dinas P& K Bangga Miliki Sosok Utomo


KENDAL - Kepala Dinas P dan K Kabupaten Kendal H Mulyadi SH MM berulangkali memuji sosok Kepala Subdinas Pendidikan dan Pengajaran (Kasubdin PP) Drs H Utomo yang dimutasi menjadi pengawas. Hal itu disampaikan dalam acara serah terima jabatan dari Kasubdin PP lama kepada pejabat baru, Drs H Muryono SH, di Aula P&K, Kamis (16/2). Sebelumnya, Muryono menjadi Kabag Humas. Di depan Kasubdin, Staf Dinas P&K, dalam sambutannya lebih jauh Mulyadi yang baru saja menunaikan ibadah haji bersama istrinya menyatakan, Kasubdin PP lama dikenal sebagai sosok yang memiliki dedikasi tinggi, bekerja keras untuk memajukan dunia pendidikan serta tangguh dan tegas. Oleh sebab itu, pejabat yang baru, Muryono, diminta agar meniru sepak terjang pejabat lama. “Jangan sampai terjadi, pasca mutasi Kasubdin PP, pendidikan di Kendal malah mundur,” ingatnya. Ditambahkan oleh Mulyadi, Kasubdin PP merupakan tolok ukur yang mewarnai keberhasilan Dinas P dan K. Tugas tersebut telah berhasil diemban dengan baik oleh Utomo, sehingga prestasi yang sudah baik seperti ini, harus dapat ditingkatkan lebih baik lagi. Kepala Dinas P dan K Kendal yang telah empat tahun memimpin Kendal ini, berulangkali mengingatkan Kasubdin PP yang baru supaya tidak mengabdi kepada dirinya, tapi mengabdi bagi kemajuan pendidikan. Pegawai tidak perlu mengabdi pada atasannya secara berlebihan, mengingat atasan sewaktu-waktu dapat saja digantikan orang lain. Kalau bekerja secara profesional, siapapun juga yang menjadi atasan, tentu tenaganya tetap akan digunakan dan jasanya dikenang sepanjang masa. Kepercayaan Mulyadi terhadap Utomo, masih tetap tinggi. Terbukti, meski kini yang bersangkutan menjadi pengawas, tapi tetap diserahi tugas pengadaan buku, menangani JIS (jaring intra sekolah) serta tim teknis pendidikan. (dar) Sumber : Radar Pekalongan 19/2/2006

Contoh Artikel Hasil Penelitian Tindakan Kelas

PENINGKATAN
KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA (KEM)
DENGAN TEKNIK TRI FOKUS STEVE SNYDER

Muhammad Sarwono*)


Abstrak. Kecepatan Etektif Membaca (KEM) siswa kelas 3 D SLTP 3 Patebon, Kendal masih rendah, yaitu 106 kpm. Angka ini masih jauh dari angka KEM ideal untuk siswa SLTP yaitu 250 kpm. Hal ini disebabkan antara lain belum diternukannya pendekatan/metode/teknik pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan, antara lain: (1) agar siswa dapat menumbuhkan kemampuan membaca pemahaman untuk menangkap informasi bacaan, dan (2) agar siswa dapat meningkatkan KEM mereka.

Usaha pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran Tri Fokus Steve Snyder. Pembelajaran tersebut dibagi dalam sejumlah kegiatan, yaitu; (1) pendahuluan, yang meliputi pemberian motivasi berkaitan dengan kegiatan membaca cepat dan pemahaman serta pengenalan (penjelasan) tentang teknik Tri Fokus Steve Snyder, (2) kegiatan inti, yaitu praktik membaca dengan teknik Tri Fokus Steve Snyder, dan (3) penutup, yaitu evaluasi atau pengukuran KEM siswa.

Berdasarkan hasil evaluasi pembelajaran yang menggunakan Teknik Tri Fokus Steve Snyder dapat disimpulkan bahwa: (1) rata-rata KEM siswa kelas 3 D meningkat dari 106,50 kpm pada pembelajaran pertama (tidak menggunakan teknik trifokus) menjadi 128,72 kpm pada pembelajaran kedua, dan (2) terjadi perubahan minat, motivasi, dan keaktifan siswa dalam pembelajaran.

PENDAHULUAN

Hasil studi yang dilakukan oleh Book and Reading Development (1992) yang dilaporkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa kebiasaan membaca belum terjadi pada siswa SD dan SLTP. Hasil studi tersebut juga menunjukkan adanya korelasi antara mutu pendidikan secara keseluruhan dengan waktu yang tersedia untuk membaca dan ketersediaan bahan bacaan. Selanjutnya hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa belum dimilikinya kebiasan membaca oleh siswa cenderung memberikan dampak negatife terhadap mutu pendidikan SD dan SLTP secara nasional (Sitepu: 1999).

Pada tahun yang sama, IEA (International Association for Evaluation Education Achievement) mengungkapkan bahwa kebisaaan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat ke-26 dari 27 negara yang diteliti. Rendahnya kemampuan membaca tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal sekolah.

Rendahnya minat dan kemampuan membaca antara lain tampak pada rendahnya kecepatan efektif membaca (KEM) mereka. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa pembelajaran membaca di sekolah belum maksimal, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Padahal kita mengetahui bahwa rendahnya kemahiran membaca akan sangat berpengaruh pada kemahiran berbahasa yang lain, yaitu mahir menyimak listening skills), mahir berbicara (speaking skills), dan mahir menulis (writing skills) (Tarigan: 1994).

Penggunaan pendekatan, metode, dan teknik membaca yang tidak tepat diasumsikan merupakan salah satu faktor penentu kurang maksimalnya pencapaiaan tujuan membaca di sekolah. Selain itu, alokasi waktu yang disediakan untuk pembelajaran masih sangat minim. Akibatnya pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh guru untuk pelatihan membaca siswa cenderung diarahkan hanya membaca bacaan-bacaan pendek yang terdapat dalam buku paket. Pemahaman guru terhadap kiat-kiat pengembangan membaca yang baik juga disinyalir sangat kurang.

Demikian juga halnya yang terjadi pada siswa kelas 3 D SLTP 3 Patebon, Kendal, Jawa Tengah semester I tahun pembelajaran 2002/2003. Dari pengukuran awal diketahui bahwa KEM mereka masih rendah yaitu 106,50 kpm. Angka ini menurut Nurhadi masih jauh dari KEM ideal untuk siswa SLTP, yaitu 250 kpm.

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan harus segara ditangani dengan sungguh-sungguh, simultan, dan terencana. Rendahnya KEM siswa akan memengaruhi rendahnya kemampuan mereka dalam menemukan isi bacaan yang dibaca. Hal tersebut akan berakibat pada turunnya minat baca mereka. Pada akhirnya gairah belajar dan prestasi akademik mereka menurun.

Ada dua faktor utama penyebab rendahnya KEM siswa. Pertama, faktor siswa yang terdiri atas: (1) faktor internal antara lain rendahnya minat dan motivasi membaca, penguasaan bahasa yang rendah, dan intelegensi siswa, dan (2) factor eksternal antara lain: keadaan sosial ekonomi siswa, lingkungan yang kurang kondusif untuk peningkatan kemahiran membaca. Kedua, factor guru antara lain: kemampuan guru dalam memotivasi siswa, dan kemampuan guru mengelola kelas untuk pembelajaran membaca masih kurang.

Teknik Tri Fokus Steve Snyder adalah teori mutakhir yang berkembang saat ini, cukup sederhana, mudah, dan praktis untuk melatih KEM siswa. Di samping itu, teknik ini masih jarang digunakan dalam pelatihan pembelajaran membaca padahal teknik ini sangat sederhana dan mudah. Oleh kerena itu, teknik ini dijadikan solusi terbaik untuk meningkatkan KEM siswa kelas 3D SLTP Negeri 3 Patebon Kabupaten Kendal.

Teknik Tri Fokus Steve Snyder merupakan teknik membaca yang terbilang baru. Teknik ini memiliki kelebihan sederhana, praktis, dan inivatif. Teknik ini disebut tri fokus karena mengajarkan pada para siswa untuk mengembangkan pelatihan peripheral mereka dengan latihan "tri fokus", Maksudnya titik konsentrasi pandangan mata terpusat tiga focus (tiga bagian) setiap barisnya. Sebagian dipusatkan di sebelah kiri, sebagian tengah.dan sebagian kanan.

Periferal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3 (1999 : 858) berarti proses melihat tidak mengenai pokoknya. Dalam kaitan ini dapat diartikan bahwa pandangan periferal saat membaca maksudnya ketika kita membaca titik fokus pandangan mata kita tidak tertuju pada satu demi satu kata secara terpisah. Namun satu focus mewakili satu bagian baik yang berupa kelompok kata (frase), klausa, atau bagian berdasarkan penjedaan.

Dalam membaca, pelihatan periferal yang lebih luas berarti adalah kemampuan untuk menerima informasi lebih banyak dalam satu waktu. Kita membaca lebih cepat jika kita memahami satu frasa dalam sekali pandang. Oleh karena itu pelihatan periferal harus dilatih dan ditingkatkan agar lebih luas dan tajam (De Porter 2000 : 270-274).

Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah "Apakah teknik Tri Fokus Steve Snyder dapat meningkatkan kecepatan efektif membaca (KEM) siswa 3D SLTP 3 Patebon pada semester I tahun pelajaran 2002/2003. Adapun tujuan penelitian makalah ini adalah agar siswa memiliki kecepatan efektif membaca yang memadai dan menumbuhkan kemampuan membaca pemahaman (kritis) untuk menangkap informasi dari bacaan dengan cepat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti:

Bagi siswa yang memiliki kecepatan efektif membaca rendah dapat mengetahui kelemahannya dalam membaca cepat dan dapat mengubahnya menjadi kekuatan dalam meningkatkan KEM. Bagi guru agar mengetahui teknik pembelajaran membaca yang sederhana, mudah dan praktis tapi mampu meningkatkan kinerja dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.

METODE PEMECAHAN MASALAH

Untuk menjawab apakah teknik Tri Fokus Steve Snyder mampu meningkatkan KEM siswa? Berikut ini adalah perlakuan pembelajaran sebelum dan sesudah penggunaan teknik Tri Fokus Steve Snyder.

Pertemuan pertama

Pada perternuan pertama, KEM siswa diukur dengan model pembelajaran konvensional. Pembelajaran dilakukan dalam beberapa tahap:
1. Pendahuluan, meliputi: menyiapkan bahan bacaan, menyiapkan alat evaluasi, dan menyampaikan informasi model kepada siswa tentang KEM.
2. Kegiatan inti, meliputi: siswa membaca wacana dan mencatat waktunya, siswa menjawab soal yang berkait dengan wacana (berupa sepuluh soal pilihan ganda dengan empat jawaban) tanpa membaca wacana.
3. Penutup, yaitu: siswa bersama guru menghitung KEM yang dicapai.
Pertemuan kedua

Pada pertemuan kedua penulis mengadakan inovasi pembelajaran dengan menggunakan teknik Tri Fokus Steve Snyder. Pembelajaran dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

TAHAP PRA PEMBELAJARAN;

Pada tahap ini penulis mengadakan persiapan antara lain: membuat rencana pembelajaran, menyiapkan alat-alat implementasi tindakan, menyiapkan bacaan serta alat evatuasi.

TAHAP PEMBELAJARAN:

Pendahuluan:
a. Siswa diajak berbincang tentang KEM hingga terjadi persepsi yang benar.
b. Siswa diberi motivasi agar tumbuh gairah untuk mengubah diri berkaitan dengan KEM mereka.
Motivasi pertama yang diberikan antara lain dengan menyodorkan kepada mereka dan menvakinkan mereka kalimat-kalimat ini:
a. Aku sadar membaca itu mudah.
b. Aku pembaca cepat.
c. Aku mampu membaca cepat dan paham.
Siswa diminta membaca kalimat-kalimat tersebut dalam hati dan menghayati, kemudian menjadikan kalimat-kalimat tersebut sebagai keyakinan awal sebelum membaca. Kegiatan ini penulis sebut dengan pembelajaran sugestif.

Kemudian disampaikan beberapa hal berkait dengan persiapan sebelum membaca. Persiapan ini lebih bersifat teknik ekstemal. Namun demikian, kondisi eksternal ini sangat berpengaruh pada saat siswa membaca. Jika kondisi dan sikap fisik tidak nyaman dan lingkungan penuh gangguan niscaya kemampuan siswa dalam membaca tidak maksimal.

Siswa diminta melakukan persiapan sebelum membaca sebagai berikut:
1. Minimalkan gangguan
2. Duduklah dengan sikap tegak
3. Lihat sekilas seluruh wacana
Kegiatan inti

a. Siswa dikenalkan dan dilatih pengembangan periferal yang merupakan inti dari teknik trifokus. Latihan ini berupa tes sederhana yaitu :
1. Lihatlah secara langsung sebuah objek!
2. Rentangkan kedua lengan kalian dengan jari telunjuk mengarah ke atas!
3. Gerakan lengan kalian ke dalam secara perlahan-lahan hingga kalian melihat jari-jari tadi.
4. Perhatikan cakupan pelihatan mata kalian ketika melihat lurus ke depan!
b. Setelah latihan tersebut, siswa diberi lembaran yang berisi simbol-simbol Tri Fokus Steve Snyder seperti Gambar 1. Untuk membaca simbol-simbol tersebut siswa hanya memperhatikan bagian kiri dengan fokus pada bintang, sebagian tengah, dan sebagian yang kanan. Hal ini dilakukan berulang-ulang beberapa menit. Pada saat mata berpindah dari satu bintang ke bintang yang lain siswa diminta menghitung dalam hati secara berirama 1,2,3; 1,2,3. Inilah latihan trifokus.



Gambar 1

c. Siswa diarahkan menggunakan konsep tersebut untuk membaca sesungguhnya. Bacaan yang digunakan berjudul "Sentra Kedelai Masih Terpusat di Jawa". Bintang (imajiner) merupakan fokus, sedangkan garis-garis merupakan kata-kata dalam kalimat. Setelah selesai membaca, siswa menghitung waktu yang digunakan kemudian bacaan dikumpulkan. Sebagai akhir pembelajaran siswa menjawab pertanyaan yang berhubungan dangan bacaan tanpa melihat teks bacaan. Soal yang dikerjakan berjumlah sepuluh nomor dengan empat pilihan ganda. Sebagai akhir kegiatan pembelajaran siswa mengoreksi hasil tes yang telah dikerjakan. Setelah itu, siswa menghitung sendiri KEM mereka dengan menggunakan rumus yang telah disampaikan.

HASIL PENELITIAN

Pertemuan Pertama

Hasil kegiatan pertemuan pertama diketahui bahwa:
1. Siswa tampak biasa-biasa saja dalam mengikuti pembelajaran membaca.
2. Karena berulang-ulang mengalami kegiatan membaca dengan model pembelajaran yang sama siswa tampak kurang bergairah.
3. Dari hasil evaluasi diketahui bahwa rata-rata KEM siswa 106,50 kpm.
Pertemuan Kedua

Pada pertemuan kedua terjadi perubahan antara lain:
1. Siswa tampak memiliki motivasi lebih tinggi
2. Siswa lebih bergairah mengikuti pembelajaran
3. Terjadi peningkatan KEM, yaitu 128,72 kpm.
PEMBAHASAN

Sebelum pembelajaran kedua dilakukan rata-rata KEM siswa 3D adalah 106,50 kpm dengan KEM tertinggi 203,30 kpm dan KEM terendah 41,85 kpm. KEM di atas 110,00 berjumlah 17 siswa. Setelah proses pembelajaran kedua bertangsung terjadi peningkatan rata-rata KEM siswa kelas 3D menjadi 128,72 kpm, ini berarti ada perubahan yang cukup berarti. KEM tertinggi 218,77 kpm dan terendah 81,55 kpm, KEM di atas 110,00 kpm berjumlah 37 siswa.

Perubahan juga semakin tampak pada siswa. Terbukti dari empat puluh siswa 37 siswa (92,5%) mengatakan mulai terbiasa dan senang dengan membaca cepat. Guru juga dapat lebih memahami prinsip-prinsip Teknik Tri Fokus Steve Snyder sehingga lebih mampu menciptakan suasana pembelajaran membaca yang cukup kondusif.

KEM siswa sebesar 128,72 kpm pada pembelajaran kedua memang belum sampai pada angka ideal, tetapi hasil ini menunjukan bahwa teknik Tri Fokus Steve Snyder cukup etektif untuk meningkatkan kecepatan efektif membaca siswa kelas 3D SLTP Patebon tanpa mengesampingkan beberapa kelemahan yang ada.

SIMPULAN

Hasil pembelajaran dapat disimpulkan:
1. Rata-rata KEM siswa kelas 3D meningkat dari 106,50 kpm menjadi 128,72 kpm.
2. Teknik Tri Fokus Steve Snyder menumbuhkan motivasi dan kreativitas membaca siswa.
3. Teknik Tri Fokus berpengaruh terhadap cara dan gaya guru mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Porter, B dan Hemacki, M. 2000. Quantum teaming: Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: Kaifa.
2. Harjasujana A. S.dan Yetimulyati. 1966. Membaca 2. Jakarta: Depdikbud.
3. Redway, K. M. 2000.Membaca cepat. Jakarta: Pustaka Binama Pressindo.
4. Sitepu, B. R 2002. Lagi-lagi Membaca. Buietin Pusat Perbukuan.V, 16-21.
5. Tarigan, H. G. 1994. Membaca sebagai suafu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
6. Tim Pelatih Proyek PGSM Propinsi Jawa Tengah 1999/2000. Peneiltian tindakan kelas (clasroom action reseach) bahan penelitian dosen LPTK dan guru sekolah menengah. Proyek PPG Dirjend Dikti Depdikbud.
7. Yulaelawati, EII.''Mahir mambaca kuasai informasi" Buietin Pusat Perbukuan N. (Januari 2000 ) 21 -24.
-------------------
*) Muhammad Sarwono adalah Guru Bahasa Indonesia SLTPN 3 Patebon Kabupaten Kendal Jawa Tengah.

Sumber : Buletin "Pelangi Pendidikan" Vol. No. 1, Tahun 2003 (Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP)

Contoh Format Laporan Penelitian

FORMAT LAPORAN PENELITIAN (Borg &Gall)

1. Halaman Judul
2. Persetujuan pembimbing
3. Abstrak
4. Pengantar
5. Daftar Isi
6. Daftar Tabel
7. Daftar Gambar/Ilustasi/Diagram
8. Daftar lampiran

BAB I. Pendahuluan
A. Latar belakang Masalah
B. Identifikasi masalah
C. Rumusan Permasalahan
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian

BAB.II. Kajian Pustaka dan Kerangka Teoritis
A. Kajian Pustaka
B. Kerangka Teoritis
C. Ringkasan dan Kerangka Berfikir
D. Hipotesis

BAB III Merodologi
A. Pemilihan Subyek (populasi, sampel dan teknik sampling)
B. Desain dan Pendekatan
C. Pengumpulan Data
D. Analisis

BAB.IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan

BAB V Simpulan dan saran
A. Simpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
Lampiran

Tugas Mahasiswa STIK

Sebagai pengganti ujian tengah semester, diminta kepada semua mahasiswa STIK transfer khusus dan mahasiswa S1 semester 5 yang mengikuti mata Kuliah : Metodologi Penelitian untuk mengerjakan tugas berikut :
1. Mendownload artikel tentang pedoman penyusunan proposal PTK Drjen Dikti
2. Menyusun sebuah Proposal PTK (penelitian Tindakan Kelas)
Tugas tersebut dikumpulkan pada hari Sabtu tanggal 8 Desember langsung pada dosen atau bisa dititipkan di Bagian Administrasi STIK Kendal

Selamat mengerjakan

UN Tumpang tindih

Jakarta, Kompas - Pelaksanaan ujian nasional atau UN dengan model yang diselenggarakan selama beberapa tahun ini dianggap menunjukkan adanya tumpang tindih antara tujuan pemetaan pendidikan dan ujian.

Pakar pendidikan Prof Arief Rahman dan Prof Conny Semiawan memberikan pendapat tersebut terkait UN dalam audiensi dengan sejumlah anggota Komisi X DPR, Rabu (21/11).

Arief Rahman mengatakan, pemetaan ialah pemotretan sejenak yang dilakukan untuk menentukan strategi pembangunan pendidikan ke depan. Adapun ujian mengukur pencapaian proses pembelajaran pada setiap siswa pada lembaga pendidikan tertentu yang mengakumulasikan semua nilai dan laporan hasil siswa dari kelas satu sampai kelas akhir.

Keputusan mengenai kelulusan secara teoretis dan tertulis kewenangannya terdapat pada kepala sekolah dan dewan guru. Kenyataannya, dengan sistem kelulusan yang standarnya langsung ditetapkan secara nasional, kewenangan tersebut menjadi hilang.

Arief mengajukan usulan agar kewenangan kelulusan dikembalikan kepada guru dan kepala sekolah. Namun, harus disertai pengendalian mutu dan manajemen sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"Saat ini terjadi kesenjangan kualitas sekolah di berbagai daerah," ujarnya.

Conny Semiawan berpendapat, siswa seharusnya dinilai berdasarkan norma rata-rata. Namun, hingga kini memasuki masa transisi tiga tahun, murid masih tetap dinilai berdasarkan standar mutlak. Jika salah satu nilai tidak sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, lantas dinyatakan tidak lulus. (INE) sumber kompas 22/11/2007